Arsip

Archive for Februari, 2010

4 Jenis Mahasiswa, Anda Termasuk Yang Mana?

Pada saat menjadi mahasiswa baik di program S1, S2 maupun S3 di Jepang, saya mengalami berbagai proses pembelajaran yang kadang bikin geli kalau mengingatnya sekarang. Proses belajar ternyata membuat jenis dan karakter saya berubah-ubah. Kadang saya nggak sadar dengan ketidakmampuan saya, tapi kemudian kenyataan menyadarkan saya bahwa saya tidak mampu, dan akhirnya setelah saya belajar keras saya jadi sadar apa saja kemampuan saya. Di sisi lain agak sedikit berbahaya ketika saya tidak sadar dengan kemampuan saya. Jadi kayak bunglon dong? Hmm lebih tepatnya bunglon darat . Terus saat ini anda termasuk jenis mahasiswa yang mana? Mari kita lihat bersama.

1. Mahasiswa Yang Tidak Sadar Akan Ketidakmampuannya (Unconsciously Incompetent)

Tahun 1994, kehidupan saya di Jepang di mulai. Saya beserta 14 orang yang lain sekolah bahasa Jepang di Shinjuku, nama sekolahnya Kokusai Gakuyukai. 1 tahun belajar bahasa Jepang, kita berhasil menghapal sekitar 1000 kanji. Kemampuan bahasa Jepang level 1 menurut Japanese Language Proficiency Test alias Nihongo Noryoku Shiken. Kebetulan karena saya senang nggombalin orang ngomong, percakapan bahasa Jepang saya cukup terasah (pera-pera). Di Kokusai Gakuyukai, kita juga diajari pelajaran dasar untuk Matematika, Fisika dan Kimia. Ini juga nggak masalah. Kurikulum Indonesia yang padat merayap plus rumus-rumus cepat ala bimbel , membuat soal-soal jadi relatif mudah dikerjakan. Karena saya newbie di dunia komputer, padahal harus masuk jurusan ilmu komputer, saya beli komputer murah untuk saya oprek. Newbie? yah bener, saya gaptek komputer waktu itu. Saya kerja keras, saya bongkar PC, saya copoti card-cardnya karena pingin tahu, sampe akhirnya rusak hehehe. Terus nyoba mulai install Windows 3.1. Lebih dari 3 bulan, tiap malam saya keloni terus itu komputer, jadi lumayan mahir lah. Tahun 1995, masuk ke Saitama University dengan sangat PD dan semangat membara . Nah pada tahap ini saya sebenarnya masuk ke jenis mahasiswa yang tidak sadar akan ketidakmampuannya. Dikiranya semua sesuai dengan yang dibayangkan dan diangankan.

2. Mahasiswa Yang Sadar Akan Ketidakmampuannya (Consciously Incompetent)

Masuk kampus, ternyata bekal kanji 1000 huruf nggak cukup. 1000 kanji itu level anak SD atau SMP di Jepang. Saya perlu lebih dari 30 menit untuk membaca 1 halaman buku textbook pelajaran, padahal orang Jepang hanya perlu 2-3 menit  Kemahiran percakapan juga nggak banyak menolong karena mahasiswa Jepang membentuk grup-grup. Saya satu-satunya mahasiswa asing di Jurusan, nggak kebagian teman, meskipun sudah kerja keras tegur sapa, ngajak kenalan, nanya jam, nanya mata pelajaran, dsb. Matematika, Fisika, dan Kimia sebenarnya mudah, hanya masalahnya karena Kanji terbatas, kadang saya nggak ngerti yang ditanyain apa. Jadi kadang saya kerjasama dengan mahasiswa Jepang disamping saya, dia ngerti apa yang ditanyain, tapi nggak bisa ngerjakan. Sebaliknya saya nggak ngerti yang ditanyain, tapi sebenarnya bisa ngerjain … hehehe. Untuk praktek di lab komputer, ternyata semua pakai terminal Unix (Sun), sama sekali nggak ada mesin yang jalan under (Microsoft) Windows. Yang pasti, harus sering mainin command line di shell, untuk ngedit file hanya bisa pakai emacs, browsing hanya bisa pakai mosaic, laporan harus pakai latex, buat program harus pakai bahasa C atau perl (CGI) untuk yang berbasis web. Kenyataan membuat saya sadar akan ketidakmampuan saya .

3. Mahasiswa Yang Sadar Akan Kemampuannya (Consciously Competence)

Karena sadar bahwa banyak hal yang ternyata saya belum mampu, yang saya lakukan adalah belajar keras. Saya kurangi tidur, saya perbanyak baca, perbanyak beli buku, beli kamus elektronik, banyak diskusi dengan teman-teman mahasiswa Jepang. Saya mulai banyak bermain-main dengan Linux dan FreeBSD di rumah untuk kompatibilitas dengan tugas kampus. Nyambung internet dengan dialup, mulai belajar mengelola server, mulai membuat program kecil-kecilan dengan bahasa C dan Perl. Banyak kerja part time, mulai dari nyuci piring, interpreter, code tester dan programmer. Saya mulai aktif di dunia kemahasiswaan, baik di dalam kampus maupun di luar kampus, termasuk ikut mengurusi Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang sampai pernah terpilih jadi ketua umumnya. Knowledge dan skill di kampus terasah, experience dan manajemen keorganisasian juga terasah. Alhamdulillah saya mulai banyak punya teman Jepang, kadang makan bareng, main bareng atau ngoprek komputer bareng di asrama mereka. Untuk menambah ilmu kadigdayaan (sebenarnya sih untuk keperluan kerja part time ), saya menambah peliharaan komputer di apartemen dengan Apple Macintosh dan beberapa Unix machine.

Tahun pertama dan kedua terlewati dengan baik, nilai lumayan dengan nuansa penuh kegembiraan. Saya berusaha semaksimal mungkin “menjual” kemampuan saya, baik dalam bentuk jasa alias sebagai interpeter, lecturer, programmer, software engineer, maupun dalam kemasan produk software yang saya buat (sistem informasi rumah sakit, sistem informasi periklanan, web application, network management system, dsb). Alhamdulillah saya sudah bisa mandiri dan mendapat banyak pengalaman dan keuntungan finansial mulai tahun ketiga kehidupan saya di Jepang, sehingga akhirnya saya putuskan menikah “dini” supaya lebih tenang, aman dan sehat . Nah pada masa ini jenis saya adalah semakin sadar akan kemampuan saya .

4. Mahasiswa Yang Tidak Sadar Akan Kemampuannya (Unconsciously Competence)

Saya banyak ngejar kredit di tahun 1 dan 2, dengan harapan bisa tobikyu (loncat tingkat), meskipun saya kemudian nggak minat lagi karena ternyata di Jepang kalau kita loncat langsung ke program Master (S2), ijazah S1 nggak diberikan oleh Universitas. Resiko besar kalau saya balik Indonesia tanpa ijazah S1, urusan birokrasi pemerintahan (PNS) akan merepotkan, apalagi kalau nanti nyalon jadi walikota semarang, bisa kena pasal ijazah palsu … hehehe. Akhirnya tingkat 3 kuliah banyak kosong (sudah terambil di tingkat sebelumnya). Part time juga saya lebih selektif, hanya di bidang garapan saya saja, yang bisa kerja remote dan lebih bebas waktunya. Tidak ada lagi tempat untuk kerja kasar nyuci piring atau angkat karung. Saya terpaksa ambil mata kuliah jurusan lain untuk menjaga ritme kampus. Meskipun kadang ditolak professor pengajar, karena saya ambil mata kuliah semacam combustion, teknologi pendidikan, sistem tata kota, dsb yang nggak ada hubungan dengan computer science. Akhirnya karena keasyikan ngambil kredit, nggak sadar kelebihan kredit. Total terambil 170 kredit, padahal syarat lulus S1 hanya 118 kredit :D.

Sehari hampir 18 jam di depan komputer, kecuali tidur sekitar 6 jam, tugas kampus juga saya kerjakan dengan baik. Akhirnya masuklah saya ke masa, “nggak ngerti lagi mau ngapain di Internet” . Saya mulai suka iseng dan banyak aktif di dunia underground dengan berbagai nama samaran. Saya kadang membuat program looping tanpa stop untuk mbangunin admin kampus, alias men-downkan server karena overload CPU dan memori. Kadang nge-brute force account teman untuk ambil passwordnya, sehingga bisa baca email-email cintanya . Sampai akhirnya saya pernah kena skorsing 3 bulan karena ngecrack account professor-professor di kampus. Nah di masa ini, saya berubah jenis sebagai mahasiswa yang nggak sadar bahwa punya kemampuan untuk berbuat negatif dan merusak kestabilan kampus .

Di sisi lain, saya banyak mendapatkan knowledge di Universitas, formal language dan automata, software project management, software metrics, requirement engineering, dsb yang pada saat dapat kita mikirnya ini nanti dipakai dimana yah . Tapi ternyata semua itu bekal yang cukup berguna ketika harus masuk ke dunia industri dan menggarap project-project yang lebih riil. Kondisi seperti ini juga termasuk dalam posisi yang tidak sadar akan kemampuannya

Bagaimanapun juga mahasiswa sebaiknya di arahkan untuk menjadi jenis ke-3, yang sadar akan kemampuannya dan menggunakan kemampuannya untuk hal-hal positif. Kalaupun ada mahasiswa yang dengan skillnya terjebak tindakan negatif, pembimbing ataupun dosen juga harus bijak mensikapi. Bagaimanapun juga ini semua adalah proses belajar dan proses pematangan diri. Sebagai tambahan, 4 hal diatas diformulasikan orang dan terkenal dengan nama teori Experiential Learning. Lalu anda termasuk yang mana? Silakan dijawab sendiri.

Yang paling penting, apapun jenis anda, jangan pernah menyerah dan tetap dalam perdjoeangan !

Kategori:Uncategorized

5 KUNCI PENGOKOH JIWA PENENANG BATHIN

1. AKU HARUS SIAP MENGHADAPI HIDUP INI, APAPUN YANG TERJADI

Hidup di dunia ini hanya satu kali, aku tak boleh gagal dan sia-sia tanpa guna
Tugasku adalah menyempurnakan niat dan ikhtiar, perkara apapun yang terjadi kuserahkan kepada Alloh Yang Maha Tahu yang terbaik bagiku
Aku harus selalu sadar sepenuhnya bahwa yang terbaik menurutku belum tentu yang terbaik menurut Alloh SWT. Bahkan sangat mungkin aku terkecoh oleh keinginan dan harapanku sendiri
Pengetahuan tentang diriku atau tentang apapun amat terbatas sedangkan pengetahuan Allah menyelimuti segalanya, Dia tahu awal, akhir dan segala-galanya
Sekali lagi betapapun aku sangat menginginkan sesuatu, tetap hatiku harus kupersiapkan untuk menghadapi kenyataan yang tak sesuai dengan harapanku. Karena mungkin itulah yang terbaik bagiku

2. AKU HARUS RELA DENGAN KENYATAAN YANG TERJADI

Bila sesuatu terjadi, yaa….. inilah kenyataan dan episode hidup yang harus kujalani

Aku harus menikmatinya, dan aku tak boleh larut dalam kekecewaan berlama-lama, kecewa, dongkol, sakit hati tak akan merobah apapun selain menyengsarakan diriku sendiri, dongkol begini, tak dongkol juga tetap begini

Hatiku harus realistis menerima kenyataan yang ada, namun tubuh serta pikiranku harus tetap bekerja keras mengatasi dan menyelesaikan masalah ini

Bila nasi telah menjadi bubur, maka aku harus mencari ayam, cakweh, kacang polong, kecap, seledri, bawang goreng dan sambal agar bubur ayam spesial tetap dapat kunikmati

3. AKU TAK BOLEH MEMPERSULIT DIRI

Aku harus yakin bahwa hidup ini bagai siang dan malam pasti silih berganti. Tak mungkin siang terus-menerus dan tak mungkin juga malam terus-menerus, pasti setiap kesenangan ada ujungnya begitupun masalah yang menimpaku pasti ada akhirnya, aku harus sangat sabar menghadapinya

Akupun harus yakin bahwa setiap musibah terjadi dengan ijin Alloh Yang Maha Adil, pasti sudah diukur dengan sangat cermat oleh-Nya tak mungkin melampaui batas kemampuanku, karena Dia tak pernah mendzolimi hamba-hamba-Nya

Aku tak boleh mendzolimi diriku sendiri, dengan pikiran buruk yang mempersulit dan menyengsarakan diri, pikiranku harus tetap jernih, terkendali, tenang dan proporsional, aku tak boleh terjebak mendramatisir masalah

Aku harus berani menghadapi persoalan demi persoalan, tak boleh lari dari kenyataan, karena lari sama sekali tak menyelesaikan bahkan sebaliknya hanya akan menambah masalah. Semua harus dengan tegar kuhadapi dengan baik, aku tak boleh menyerah, aku tak boleh kalah

Mesti segala sesuatu akan ada akhirnya, begitupun persoalan yang kuhadapi seberat apapun seperti yang dijanjikan Alloh ” Fainnama’al usri yusron innama’al ’usri yusron” dan sesungguhnya bersama kesulitan itu pasti ada kemudahan, bersama kesulitan itu pasti ada kemudahan. Janji yang tak pernah mungkin dipungkiri oleh Alloh SWT

4. EVALUASI DIRI

Segala yang terjadi mutlak adalah ijin Alloh SWT, dan Alloh tak mungkin berbuat sesuatu yang sia-sia

Pasti ada hikmah dibalik setiap kejadian, sepahit apapun pasti ada kebaikan yang terkandung didalamnya, bila disikapi dengan sabar dan benar

Harus kurenungkan mengapa Alloh menakdirkan semua ini menimpaku, bisa jadi peringatan atas dosa-dosa kita, kelalaianku atau mungkin, saat kenaikan kedudukanku disisi Alloh

Mungkin aku harus berpikir keras untuk menemukan kesalahan yang kuperbaiki

Setiap kejadian bagai cermin pribadiku, aku tak boleh gentar dengan kekurangan dan kesalahan yang telah terjadi, yang penting kini aku mengetahui diriku yang sebenarnya dan aku bertekad sekuat tenaga untuk memperbaikinya, Alloh Maha Pengampun dan Maha Penerima Taubat

5. ALLOHLAH SATU-SATUNYA PENOLONGKU

Aku harus yakin kalaupun bergabung seluruh manusia dan jin untuk menolongku tak mungkin terjadi apapun tanpa ijin-Nya

Hatiku harus bulat total dan yakin seyakin-yakinnya, bahwa hanya Allohlah satunya-satunya yang dapat menolong memberi jalan keluar terbaik dari setiap urusan

Tidak ada yang mustahil bagi-Nya, karena segala-galanya adalah milik-Nya, dan sepenuhnya dalam kekuasaan-Nya

Tak ada yang dapat menghalangi jikalau Dia akan menolong hamba-hamba-Nya, Dialah yang mengatur segala sebab datangnya pertolongan-Nya

Oleh karena itu aku harus benar-benar berjuang, berikhtiar untuk mendekati-Nya dengan mengamalkan apapun yang disukai-Nya dan melepaskan hati ini dari ketergantungan selain-Nya, karena selain Dia hanyalah sekedar makhluk yang tak berdaya tanpa kekuatan dari-Nya

Ingatlah selalu janji-Nya “Barangsiapa yang bertaqwa kepada-Ku, niscaya Ku beri jalan keluar dari setiap urusannya dan Kuberi rizki/ pertolongan dari tempat yang tak terduga, dan barangsiapa yang bertawakal kepada-Ku, Niscaya akan Kucukupi segala kebutuhannya”. ( At-Thalaq : 2-3 )

Semoga 5 kunci diatas dapat menenangkan hati yang sedang galau, cemas, was-was, khawatir yang berlebihan dan pengobat stress. Ingat hanya dengan dzikrullah / mengingat Alloh hati akan menjadi tenang

Kategori:Uncategorized

DASAR-DASAR QUR’ANI DAN HADIST TENTANG TASAWUF

BAB I

PENDAHULUAN

Apabila kita melihat zaman sekarang banyak orang-orang yang mengejar kemewahan dunia, dan berlebih-lebihan dalam mencintai keindahan dunia seolah-olah akan hidup selamanya di dunia ini. Namun, pada akhirnya mereka menyesal setelah mendapat suatu musibah dan banyak yang sadar karena kesenangan dunia itu tidak bisa membuat orang tenang dan tentram. Dengan demikian mereka mancari ketenangan dan kedamaian yang dibutuhkan oleh sentuhan-sentuhan spiritual atau rohani yang bisa diperoleh dengan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Dalam makalah ini penulis mencoba membahas sedikit tentang dasar atau landasan-landasan yang sering digunakan oleh para sufi dalam bertasawuf. Landasan Al-Qur’an dan Hadist merupakan acuan pokok yang selalu dijadikan oleh umat Islam untuk berbuat dan bertindak.

Dalam penulisan makalah ini tidak lepas dari kekurangan dan kesalahan, sebagai manusia biasa yang  tidak pernah luput dari salah dan lupa, makalah ini juga belum bisa dikatakan sempurna. Oleh sebab itu, pemakalah meminta kepada Bapak Dosen dan rekan-rekan mahasiswa agar memberikan kritik dan saran agar makalah ini nanti lebih baik dan sempurna bahasannya.

Atas kritik dan saran-saran yang diberikan Bapak Dosen ataupun rekan-rekan mahasiswa, pemakalah lebih dulu mengucapkan terima kasih banyak, sehingga makalah ini nanti bisa lebih bagus.

BAB II

PERMASALAHAN

Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari kita sering mendengar pertanyaan-pertanyaan yang meminta atas landasan atau dasar apa kita berbuat sesuatu. Ataupun langsung orang lain bertanya kepada kita apa dasar al-Qur’an dan hadistnya anda berkata demikian? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sering dilontarkan kepada kita ketika orang itu menerima atau menemukan persoalan-persoalan yang baru atau persoalan-persoalan yang unik yang mereka temui.

Oleh sebab itu landasan atau dasar-dasar tasawuf dalam Al-Qur’an dan Hadis urgen untuk dibahas. Karena tanpa kajian yang khusus kita tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Karena masa modern ini kita harus lebih banyak mengkaji dan berpegang kepada Al-Qur’an dan Hadis yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad sebagai pedoman bagi kita supaya kita tidak terbawa arus globalisasi yang semakin merajalela ini.

BAB III

PEMBAHASAN

  1. A. Pengertian Tasawuf

Secara etimologi, pengertian tasawuf dapat dilihat menjadi beberapa macam pengertian, yaitu ;

  1. 1. Ahlu suffah (         ), yang berarti sekelompok orang dimasa Rasulullah yang hidupnya banyak berdiam diserambi-serambi mesjid, dan mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah.
  2. 2. Safa (      ), orang-orang yang mensucikan dirinya dihadapan Tuhan-Nya.
    1. 3. Shaf (     ), orang-orang yang ketika shalat selalau berada di shaf yang paling depan.
    2. 4. Shuf (      ), yang berarti bulu domba atau wool.

Secara terminologi, telah banyak dirumuskan oleh para ahli, yaitu :

  1. Menurut Juhairi, ketika ditanya tentang tasawuf, lalu ia menjawab :

“Memasuki segala budi (akhlak) yang bersifat sunni dan keluar dari budi pekerti yang rendah”.

  1. Menurut Junaidi :

“Tasawuf ialah bahwa yang Hak adalah yang mematikanmu, dan Hak-lah yang menghidupkanmu”.

  1. Menurut Abu Hamzah :

“Tanda sufi yang benar adalah berfakir setelah dia kaya, merendahkan diri setelah dia bermegah-megahan, menyembunyikan diri setelah dia terkenal: dan tanda sufi palsu adalah kaya setelah dia fakir, bermegah-megahan setelah dia hina dan tersohor setelah ia tersembunyi”.

  1. B. DASAR-DASAR QUR’ANI DAN HADIST TENTANG

ILMU TASAWUF

Al-Qur’an merupakan kitab Allah yang didalamnya terkandung muatan-muatan ajaran Islam, baik akidah, syarah maupun muamalah. Ketiga muatan tersebut banyak tercermin dalam ayat-ayat yang termaktub dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat Al-Qur’an di satu sisi memang ada yang perlu dipahami secara konstektual-rohaniah. Jika dipahami secara lahiriah saja, ayat-ayat Al-Qur’an akan terasa kaku, kurang dinamis, dan tidak mustahil akan ditemukan persoalan yang tidak dapat diterima secara psikis.

Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan batiniah. Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniah pada gilirannya nanti melahirkan tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah serta praktik kehidupan Nabi dan para sahabatnya.[1]

  1. Ayat Al-Qur’an tentang tasawuf secara eksplisit

Makna eksplisit adalah makna absolut yang langsung diacu oleh bahasa. Konsep makna ini bersifat denotatif  (sebenarnya)  sebagai representasi dari bahasa kognitif. Eksplisit : makna/maksud diajukan secara langsung dan jelas
Makna eksplisit mengacu pada informasi, sedangkan makna implisit mengacu pada emosi.[2]

  1. Dalam Q.S. Al-Maidah ayat : 54

$pkš‰r’¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä `tB £‰s?ötƒ öNä3YÏB `tã ¾ÏmÏZƒÏŠ t$öq|¡sù ’ÎAù’tƒ ª!$# 5Qöqs)Î/ öNåk™:Ïtä† ÿ¼çmtRq™6Ïtä†ur A’©!όr& ’n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# >o¨“Ïãr& ’n?tã tûï͍Ïÿ»s3ø9$# šcr߉Îg»pgä† ’Îû È@‹Î6y™ «!$# Ÿwur tbqèù$sƒs† sptBöqs9 5OͬIw 4 y7Ï9ºsŒ ã@ôÒsù «!$# ÏmŠÏ?÷sム`tB âä!$t±o„ 4 ª!$#ur ììřºur íOŠÎ=tæ ÇÎÍÈ

Artinya ; “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui”.

Berdasarkan dasar Al-Qur’an tentang tasawuf  secara eksplisit,  di atas memiliki ciri-ciri yaitu :

1)      Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah.

2)      Bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin dan bersikap tegas terhadap orang-orang kafir.

Sifat ini merupakan hasil kecintaan kepada Allah. Seorang yang cinta kepada Allah akan menjadi seorang  yang arif bijaksana yang akan selalu gembira dan senyum, bersikap lemah lembut karena jiwanya dipenuhi oleh sifat Allah yang paling dominan yaitu rahmat dan kasih sayang. Inilah yang menghasilkan rasa persaudaraan seagama, yang menjadikannya bersikap toleran terhadap kesalahannya, lemah lembut dalam sikap dan perilakunya termasuk ketika menegur  atau menasehatinya. Sikap ini yang mengantar seorang muslim merasakan derita saudaranya, sehingga memenuhi kebutuhannya dan melapangkan kesulitannya. Sedang sikap tegas kepada orang-orang kafir, bukan berarti memusuhi pribadinya, atau memaksakan mereka memeluk islam, atau merusak tempat ibadah dan menghalangi mereka melaksanakan tuntutan agama dan kepercayaan mereka tetapi bersikap tegas, terhadap permusuhan mereka, atau upaya-upaya mereka melecehkan ajaran agama dan kaum muslimin.

3)      Mereka berjihad di jalan Allah

Jihad disini tidak terbatas dalam bentuk mengangkat senjata, tetapi termasuk upaya-upaya membela islam dan memperkaya peradabannya dengan lisan dan tulisan, sambil menjelaskan ajaran islam dan menangkal ide-ide yang bertentangan dengannya lebih-lebih yang memburukannya.

4)      Tidak takut kepada celaan pencela

Mereka tidak takut dicela bahwa mereka tidak toleran misalnya jika mereka bersikap tegas terhadap orang kafir yang memusuhi islam, tidak juga khawatir dituduh fanatik atau fundamentalis jika menegakkan ukhwah islamiyah.[3]

  1. Bahwa kemungkinan manusia dapat saling mencintai (mahabbah) dengan Tuhan. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Al-Qur’an dalam surah al-Maidah ayat 54 yakni:

$pkš‰r’¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä `tB £‰s?ötƒ öNä3YÏB `tã ¾ÏmÏZƒÏŠ t$öq|¡sù ’ÎAù’tƒ ª!$# 5Qöqs)Î/ öNåk™:Ïtä† ÿ¼çmtRq™6Ïtä†ur A’©!όr& ’n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# >o¨“Ïãr& ’n?tã tûï͍Ïÿ»s3ø9$# šcr߉Îg»pgä† ’Îû È@‹Î6y™ «!$# Ÿwur tbqèù$sƒs† sptBöqs9 5OͬIw 4 y7Ï9ºsŒ ã@ôÒsù «!$# ÏmŠÏ?÷sム`tB âä!$t±o„ 4 ª!$#ur ììřºur íOŠÎ=tæ ÇÎÍÈ

Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman barang siapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir yang berjihad dijalan Allah dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah diberikan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha halus (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. [4]

Dari ayat diatas para ahli sufi menafsirkannya bahwa akan datang suatu kaum yang dicintai Allah dan mereka juga mencintai Allah, sebagaimana yang tercantum didalam Tafsir al-Misbah karangan Quraish Shihab bahwa Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah. Cinta Allah kepada hamba-Nya dipahami para mufassir dalam arti limpahan kebaikan dan anugerah-Nya. Cinta Allah dan karunianya tidak terbatas dan cinta manusia kepada Allah bertingkat-bertingkat, tetapi yang jelas adalah cinta kepada-Nya merupakan dasar dan prinsip perjalanan menuju Allah, sehingga semua peringkat (maqam) dapat mengalami kehancuran kecuali cinta. Cinta tidak bisa hancur dalam keadaan apapun selama jalan menuju Allah tetap ditelusuri.[5]

  1. Bahwa Allah memerintahkan manusia agar senantiasa bertaubat membersihkan diri dan memohan ampunan kepada-Nya sehingga memperoleh cahaya dari-Nya.Hal ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an surah at-Tahrim ayat 8 yaitu:

$pkš‰r’¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqç/qè? ’n<Î) «!$# Zpt/öqs? %·nqÝÁ¯R 4Ó|¤tã öNä3š/u‘ br& tÏeÿs3ムöNä3Ytã öNä3Ï?$t«Íh‹y™ öNà6n=Åzô‰ãƒur ;M»¨Zy_ “̍øgrB `ÏB $ygÏFøtrB ㍻yg÷RF{$# tPöqtƒ Ÿw “Ì“øƒä† ª!$# ¢ÓÉ<¨Z9$# z`ƒÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä ¼çmyètB ( öNèdâ‘qçR 4Ótëó¡o„ šú÷üt/ öNÍk‰É‰÷ƒr& öNÍkÈ]»yJ÷ƒr’Î/ur tbqä9qà)tƒ !$uZ­/u‘ öNÏJø?r& $uZs9 $tRu‘qçR öÏÿøî$#ur !$uZs9 ( y7¨RÎ) 4’n?tã Èe@à2 &äóÓx« ֍ƒÏ‰s% ÇÑÈ

Artinya     :   ”Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang beriman bersama dengan dia ; sedang cahaya mereka memancar dihadapan dan disebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan,”Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami ; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” [6]

Dari ayat tersebut dijelaskan bahwa seseorang yang bertasawuf harus bertaubat lebih dulu untuk menghapus segala kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya. Para sufi berpendapat bahwa untuk mencari keridhaan Allah harus bertaubat lebih dahulu dan meninggalkan segala yang menyangkut dengan kebendaan (dunia) dan menghiasinya dengan akhlak mahmudah, dengan demikian kita bisa menuju keridhaan Allah SWT.

Dalam tasawuf kata taubat berasal dari kata taaba-yatubu-taubatan yang artinya kembali. Sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rahmat dari kitab Manaajil Al-saairin bahwa taubat adalah maqam yang kedua. Sedangkan maqam yang pertama adalah yaqzhah atau kesadaran. Dalam yaqzhah itu, kita tiba-tiba disadarkan oleh Allah SWT akan keburukan-keburukan yang pernah kita lakukan selama kejauhan kita dari Allah SWT. Bisa jadi kita disadarkan dengan satu musibah yang menimpa kita atau nasihat orang lain dan perenungan kita sendiri. Allah mempunyai cara untuk menyadarkan hamba-Nya. Tetapi dalam tasawuf bahkan menurut Al-Qur’an orang lebih banyak disadarkan oleh musibah.[7]

  1. Allah juga menegaskan dalam Al-Qur’an tentang pertemuan manusia dengan Allah sebagaimana yang tercantum dalam surah al-Baqarah ayat 115 yaitu :

¬!ur ä-̍ô±pRùQ$# Ü>̍øópRùQ$#ur 4 $yJuZ÷ƒr’sù (#q—9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$# 4 žcÎ) ©!$# ììřºur ÒOŠÎ=tæ ÇÊÊÎÈ

Artinya     :  ”Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.”[8]

Bagi kaum sufi ayat tersebut mengandung arti bahwa dimana Tuhan ada, di situ pula Tuhan dapat dijumpai.[9] Maksudnya kapanpun dan dimanapun kita berada Allah selalu bersama kita karena dzat-Nya tidak dibatasi ruang dan waktu dan tidak pula dibatasi oleh tempat.

  1. Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan tentang kedekatan manusia dengan-Nya seperti yang tercantum dalam surah al-Baqarah ayat 186 yaitu:

#sŒÎ)ur y7s9r’y™ “ÏŠ$t6Ïã ÓÍh_t㠒ÎoTÎ*sù ë=ƒÌs% ( Ü=‹Å_é& nouqôãyŠ Æí#¤$!$# #sŒÎ) Èb$tãyŠ ( (#qç6‹ÉftGó¡uŠù=sù ’Í< (#qãZÏB÷sã‹ø9ur ’Î1 öNßg¯=yès9 šcr߉ä©ötƒ ÇÊÑÏÈ

Artinya     :  ”Jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-Ku, Aku adalah dekat, Aku mengabulkan seruan orang yang memanggil jika ia panggil Aku.” [10]

  1. Dalam surah Qaf ayat 16 juga disebutkan yaitu:

ô‰s)s9ur $uZø)n=yz z`»|¡SM}$# ÞOn=÷ètRur $tB â¨Èqó™uqè? ¾ÏmÎ/ ¼çmÝ¡øÿtR ( ß`øtwUur Ü>tø%r& Ïmø‹s9Î) ô`ÏB È@ö7ym ωƒÍ‘uqø9$# ÇÊÏÈ

Artinya     :   “Sebenarnya Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkannya kepadanya, Kami lebih dekat kepadanya daripada pembuluh darahnya sendiri.” [11]

Berdasarkan ayat tersebut kebanyakan dikalangan para sufi berpendapat bahwa untuk mencari Tuhan, orang tidak perlu pergi jauh-jauh. Ia cukup kembali ke dalam dirinya sendiri.[12] Maksudnya kita harus intropeksi diri memuhasabahi diri kita atas apa yang telah kita lakukan dan kita perbuat dan sejauhmana kita mensyukuri anugerah Allah kepada kita.

  1. Ayat Al-Qur’an Tentang Tasawuf Secara Implisit

Makna implisit adalah makna universal yang disembunyikan oleh bahasa. Konsep makna ini bersifat konotatif (kias) sebagai representasi dari bahasa emotif. Implisit : makna/maksud diajukan tidak secara langsung dan sembunyi-sembunyi.

Ada pun ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi landasan tasawuf secara inplisit dapat dilihat dari tingkatan (maqam) dan keadaan (ahwal) para sufi yaitu :

  1. Tingkatan Zuhud yakni tercantum dalam surah An-Nisaa’ ayat 77 yaitu :

ö@è% ßì»tFtB $u‹÷R‘‰9$# ×@‹Î=s% äotÅzFy$#ur ׎öyz Ç`yJÏj9 4’s+¨?$#

Artinya     :   “Katakanlah kesenangan didunia ini hanya sementara dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa…”[13]

  1. Tingkatan Tawakkal yaitu dalam surah At-Thalak ayat 3 yaitu:

`tBur ö@©.uqtGtƒ ’n?tã «!$# uqßgsù ÿ¼mç7ó¡ym 4

Artinya     :   “Dan barang siapa bertawakkal kepada Allah niscaya Allah mencukupkan (keperluannya).”[14]

  1. Tingkatan Syukur dalam Q.S. Ibrahim ayat 7 yaitu:

ûÈõs9 óOè?öx6x© öNä3¯Ry‰ƒÎ—V{ (

Artinya     :   “Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti akan Kami menambahkan (nikmat) kepadamu.”[15]

  1. Tingkat Sabar berlandaskan Q.S. Al-Baqarah ayat 155 yaitu:

̍Ïe±o0ur šúïΎÉ9»¢Á9$#

Artinya     :  ”Dan berikanlah berita gaembira kepada orang-orang yang sabar.”[16]

  1. Tingkatan Ridha berdasarkan Q.S. Al-Maidah ayat 119 yaitu:

zÓÅ̧‘ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊu‘ur çm÷Ztã 4

Artinya     :  ”Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun ridha terhadap-Nya.” [17]

Demikianlah sebagian ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan para sufi sebagai landasan untuk melaksanakan praktek-praktek kesufiannya. Akan tetapi masih banyak ayat-ayat yang lain yang tidak dicantumkan oleh penulis dalam makalah ini.

  1. Hadist Tentang Tasawuf Secara Eksplisit

Dalam hadis juga banyak dijumpai keterangan-keterangan yang berbicara tentang kehidupan rohaniah manusia. Di antaranya adalah sebagai berikut:

Artinya     :

”Senantiasa seorang hamba itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Maka tatkala mencintainya, jadilah Aku pendengarnya yang dia pakai untuk mendengar dan lidahnya yang dia pakai untuk berbicara dan tangannya yang dia pakai untuk mengepal dan kakinya yang dia pakai untuk berusaha ; maka dengan-Ku-lah dia mendengar, melihat, berbicara, berpikir, meninju dan berpikir.”[18]

Dari hadis ini dapat dipahami bahwa manusia dan Tuhan dapat bersatu. Diri manusia dapat lebur dalam diri Tuhan yang selanjutnya dikenal dengan istilah fana, yakni fana’-nya makhluk sebagai yang mencintai kepada Tuhan seperti yang dicintainya. Fana adalah menghilangnya daripada pengenalan ghair, baqa adalah pengetahuan Tuhan, yang di dapat oleh seorang yang sudah menghilangnya pengetahuan tentang ghair. Dalam hal ini nafs kita dalam jalan fana (ubudiyyah yakni penghambaan, ibadah) dan Tuhan dalam jalan baqaa (rububiyyah yakni penguasaan).[19]

Artinya :

“Dari Abi Yahya Suhaib bin Sinan RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda : sangat mengagumkan keadaan seorang mukmin. Sesungguhnya segala keadaannya untuknya baik sekali, dan tidak mungkin terjadi demikian kecuali bagi orang mukmin. Kalau mendapat kenikmatan, ia bersyukur, maka bersyukur itu lebih baik baginya. Dan kalau menderita kesusahan ia sabar, maka kesabaran itu lebih baik baginya.

(HR. Muslim).

  1. Hadist tentang tasawuf secara inplisit

Artinya :

Dari Umar bin Khattab ra., katanya : Aku mendengar Rasul Allah SAW bersabda :”Semua amal perbuatan itu hanyalah dinilai menurut  masing-masing niatnya, dan setiap orang hanyalah menurut apa yang diniatkan. Maka barang siapa yang hijrahnya itu kepada keridhaan Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya untuk keduniaan atau wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu pun diberi penilaian untuk tujuan apa ia hijrah tadi”.

(H.R. Al-Bukhari).

Artinya :

Dari Ibnu Mas’ud ra. Dari Rasul Allah, bersabda : sesungguhnya jujur itu mendorong untuk beramal saleh, dan sesungguhnya amal saleh itu menunjukkan jalan ke surga. Dan seorang yang benar-benar/terus-menerus berbuat jujur (sehingga menjiwai dan berbudi), ditetapkan disisi Allah sebagai ahli jujur. Dan sesungguhnya dusta itu mendorong untuk berbuat keji dan perbuatan keji itu menyampaikan ke neraka. Dan seorang yang benar-benar/terus-menerus berdusta, ditetapkan disisi Allah sebagai ahli dusta.

(Mutafaq Alaih).

Dalam Hadist Qudsi juga dijelaskan yaitu:

Artinya     :  “Tidaklah para hamba yang beribadah kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku fardhukan kepadanya. Dan hamba yang beribadah kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan sunat, maka Aku juga mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, penglihatan yang ia gunakan untuk melihat, tangan yang ia pakai memegang dan kaki yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku, maka Aku akan melindunginya”.[20]

Hadis ini menjelaskan bahwa sesungguhnya seorang hamba mampu meninggalkan syahwat dan tenggelam dalam ketaatan, sehingga ia hanya menggunakan anggota badannya sesuai dengan tujuan penciptaannya, sebagai taufik dan hidayah Allah SWT.

Hadis ini memberi pengertian, bahwa dasar kecintaan Allah kepada hamba-Nya adalah melalui perbuatan-perbuatan yang sunat. Oleh karena itu, selama seorang hamba beribadah kepada-Nya melalui ibadah-ibadah sunat hingga sampai pada tingkatan cinta kepada-Nya, maka pada saat itu dia mampu tenggelam dengan melihat kesucian Allah, tidak melihat sesuatupun kecuali Allah berada di sisinya. Pengalaman semacam ini merupakan derajat terakhir bagi orang-orang yang menuju akhirat dan jalan pertama bagi orang yang ingin sampai kepada Allah. Dengan mengikuti sunah tercapailah ma’rifat, dengan melakukan perbuatan fardhu tercapailah qurbah (dekat dengan Allah) dan dengan selalu melaksanakan perbuatan sunat tercapailah mahabbah Allah.[21]

Dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW,  juga terdapat petunjuk yang menggambarkan bahwa beliau adalah sufi. Nabi Muhammad telah mengasingkan diri ke Gua Hira menjelang datangnya wahyu. Beliau menjauhi pola hidup kebendaan yang pada waktu itu diagung-agungkan oleh orang Arab tengah tenggelam didalamnya, seperti dalam peraktek perdagangan dengan prinsip menghalalkan segala cara.[22]

  1. 5. Kiat/Cara-Cara Menentukan Ayat Ekspelisit dan Impilisit

Meskipun teks-teks Alquran pada mulanya adalah wahyu Tuhan yang transhistoris dan metahistoris, akan tetapi dalam perjalanan selanjutnya ia diturunkan kepada manusia dan untuk menjadi bacaan yang harus dipahami manusia. Kenyataan ini bagaimanapun telah merubah teks-teks suci tersebut menjadi teks-teks yang memasuki ruang dan waktu manusia. Dengan kata lain, Alquran tidak hadir dalam ruang hampa, melainkan berdialog, merespon, dan berinteraksi dengan manusia yang telah eksis berikut segala sistem hidup yang dianut.

Secara historis ayat-ayat Alquran yang berjumlah lebih dari 6000 ayat dan dibagi dalam 114 surat tersebut diturunkan kepada masyarakat Arabia abad ke 7 M, dalam rentang waktu sekitar 23 tahun. Ayat-ayat tersebut tidak diturunkan sekaligus, tetapi melalui proses bertahap atau berangsur, berdasarkan kebutuhan yang relevan dengan peristiwa-peristiwa yang dihadapi Nabi. Seluruh surat dan ayat Alquran diturunkan dalam dua fase sejarah sosial yang berbeda. Dua fase ini dikenal dalam terminologi ‘ulum al-Quran sebagai Makkiyyah dan Madaniyyah. Para ahli tafsir merumuskan Makkiyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan ketika Nabi masih berada di Mekah. Sebagian ulama membaginya berdasarkan aspek waktu, yakni Makkiyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan sebelum Nabi hijrah, pindah ke Madinah. Sedangkan Madaniyah adalah ayat-ayat yang diterima Nabi ketika berada di Madinah atau sesudah hijrah. Pandangan yang lebih tajam, teks tidak semata-mata dilihat dari soal tempat atau waktu turunnya, tetapi pada kondisi audien, penerima, atau pembacanya.

Teori tentang ayat-ayat Makkiyyah dan Madaniyyah dengan beragam definisi di atas, pada intinya memperlihatkan bahwa teks-teks Alquran di arahkan pada dua konteks sosial dan audien yang berbeda. Sekaligus berada pada konteks perkembangan risalah yang sedang berjalan guna merespon dan mengatasi problem-problem sosial yang dihadapi. Menurut para ulama teks-teks Makiyyah pada umumnya menekankan tentang ketauhidan (kemahaesaan Tuhan) dan nilai-nilai kemanusian universal seperti kesetaraan manusia, keadilan, kebebasan, pluralitas, dan penghargaan terhadap martabat manusia. Para ulama Alquran mencirikan pesan risalah periode Makkiyyah, meskipun tidak seluruhnya, dengan (misalnya) penggunaan kata sapa “ya ayyuha al- Naas” (hai manusia); atau “ya Bani Adam” (hai anak Adam); dan “kalla” (tidak begitu). Teks-teks Alquran pada periode ini dapat dikatakan mengandung gagasan-gagasan yang progresif dan revolusioner.

Berbeda dengan di Mekah, audien (masyarakat) di Madinah, adalah masyarakat yang pada umumnya sudah menganut agama langit (samawi) seperti Yahudi dan Nasrani, di samping mereka yang telah beriman kepada Nabi (Muhajirin dan Anshar). Ayat-ayat Madaniyyah pada umumnya berisi ayat-ayat yang menetapkan aturan-aturan yang lebih rinci, lebih spesifik dan partikular yang menyangkut problem-problem aktual yang dihadapi masyarakat Madinah. Beberapa di antaranya tentang hukum-hukum personal, hukum keluarga (famili law), dan aturan-aturan tentang kehidupan bersama dalam masyarakat plural yang telah terbentuk di sana.

Ciri-ciri surah atau ayat Madaniyah dapat dikenali antara lain melalui penyebutan kata sapa “ya ayyuhallazdina amanu” (wahai orang-orang yang beriman); atau ayat yang berbicara tentang orang-orang munafiq; dan lain-lain. Di sini kita melihat dengan jelas bahwa ayat-ayat Madaniyah menunjukkan pesan-pesan kepada masyarakat plural dari sisi keyakinan, aturan-aturan yang menyangkut urusan-urusan dalam kehidupan praktis, hukum-hukum keluarga dan hudud (pidana). Beberapa contoh ayat/surah Madaniyah adalah Q.S. al-Nisa [4]; Q.S al-Nur [24]; Q.S. al-Ahzab [33]; Q.S. al-Thalaq [65]; dan lain-lain. Dalam surah-surah ini Alquran membicarakan secara cukup detail tentang sejumlah isu perempuan seperti perkawinan, perceraian, waris, dan yang berkaitan dengan relasi laki-laki dan perempuan lainnya.

Penyebutan ciri-ciri di atas –Makiyyah maupun Madaniyyah- diakui para ahli tafsir tidak berlaku menyeluruh pada semua ayat melainkan sebagai ciri-ciri umum saja. Hal ini karena ada ayat-ayat yang menggunakan ciri di atas, misalnya ciri ayat makkiyyah dengan penggunaan kata sapa “ya ayyuha al-Nas”, tetapi diturunkan sesudah hijrah (madaniyyah). Boleh jadi hal ini terjadi terkait dengan upaya mengembalikan kesadaran audien tentang pentingnya mendasarkan aturan-aturan sosial pada prinsip-prinsip kemanusiaan universal yang menjadi tujuan agama.

Kenyataan sejarah Alquran ini penting dikemukakan agar dapat dipahami bahwa kitab suci ini berdialog secara dinamis dan akomodatif, bernegosiasi dan melakukan interaksi dengan akal dan psiko-sosial masyarakat Arabia pada abad ke 7 H dan dengan subyek audien yang tidak tunggal.

Pada sisi lain, historisitas teks-teks Alquran juga muncul dalam pengakuan para ulama tentang teori Nasikh-Mansukh. Ia adalah terminologi yang biasa digunakan oleh para ahli tafsir untuk menunjukkan adanya ayat-ayat yang membatalkan (nasikh) dan ayat-ayat yang dibatalkan (mansukh). Teori ini dimunculkan oleh karena adanya ayat-ayat yang dianggap saling bertentangan, berdasarkan pemahaman literalnya, yang tidak mungkin lagi dapat dikompromikan. Jika ini yang terjadi, maka menurut teori ini ayat-ayat yang diturunkan belakangan (nasikh) membatalkan ayat-ayat sebelumnya (mansukh). Sebagai contoh yang biasa  dikemukakan para ulama misalnya adalah persoalan iddah (masa menunggu) bagi perempuan yang bercerai dari suaminya karena meninggal dunia. Salah satu ayat Alquran menunjukkan bahwa perempuan tersebut harus menunggu di rumah selama satu tahun. Sesudah itu dia bisa bergerak bebas, termasuk untuk menikah lagi. (Q.S. al Baqarah,[2:240). Sementara ayat yang lain menyebutkan bahwa masa menunggu (iddah) perempuan tersebut adalah empat bulan sepuluh hari (Q.S. al Baqarah, 234). Para ulama memandang bahwa ayat yang kedua ini (empat bulan sepuluh hari), meskipun secara urutannya dalam mush-haf disebut lebih dahulu,  adalah menghapus (nasikh) terhadap ayat yang kedua (satu tahun). Para ulama menyebut penghapusan ini sebagai “naskh al hukm duna al tilawah” (menghapus hukumnya, bukan menghapus bacaan/tulisannya). (Al Zarkasyi, Al Burhan fi Ulum Alquran, II/37-38).

Teori nasikh-mansukh dengan pengertian pembatalan hukum teks yang satu terhadap teks yang lain, dikritik oleh sebagian ulama. Menurut mereka pengertian nasikh-mansukh seperti ini menghadapi problem serius, karena hal itu berarti mengabaikan keabadian, keutuhan dan ketiadaan kontradiksi antara teks-teks Alquran. Problem lain adalah bagaimana halnya dengan fakta pengumpulan Alquran dalam mushaf yang sudah disepakati para sahabat Nabi dan dinyatakan sebagai utuh?. Mana saja dan berapa banyak ayat-ayat nasikh-mansukh, juga merupakan problem kontroversial di kalangan ulama sendiri. Sejauh seseorang pembaca mampu mengatasi ayat-ayat yang dipandang kontradiktif, maka kemungkinan terjadinya naskh (pembatalan) perlu dipertanyakan.

Pandangan lain berpendirian bahwa apa yang dikesankan sebagai naskh sebenarnya adalah penundaan sementara pemberlakuannya, oleh karena situasi konkrit masyarakat yang dihadapi telah berubah dan berkembang. Menurut pandangan ini kesan adanya dua ayat yang bertentangan dapat diselesaikan melalui cara pandang historisitas teks atau pembacaan kontekstual. Hal ini merupakan pandangan yang wajar saja, mengingat bahwa ayat-ayat Alquran diturunkan secara bertahap, dalam ruang dan waktu sosial yang berbeda, audien yang berbeda-beda dan tingkat kemajuan yang berbeda pula. Jadi adalah wajar bahwa keputusan hukumnya berbeda. Dengan demikian, maka istilah naskh, dengan arti penghapusan atau pembatalan lebih tepat dipandang sebagai penundaan belaka, oleh karena konteks realitas sosial yang tidak memiliki relevansi untuk diimplementasikan.

Terlepas dari kontroversi mengenai teori nasikh-mansukh di atas, kenyataan tersebut menunjukkan dengan jelas, bahwa seluruh ulama mengakui adanya dimensi historisitas teks-teks Alquran. Dengan kata lain teori ini sesungguhnya menunjukkan adanya kehendak perubahan hukum dari satu waktu ke waktu yang lain dan dari satu ruang ke ruang yang lain. Al Zarkasyi, mengatakan bahwa naskh merupakan penjelasan tentang masa keberlakuan hukum. (al Burhan, II : 30). Sepanjang teks-teks Alquran diarahkan kepada manusia yang hidup dalam sejarah, maka ia terlibat dalam dinamika sosial.

Selain teori naskh, para ulama menyatakan bahwa ayat-ayat Alquran tidak diturunkan begitu saja, tetapi mempunyai Asbab al Nuzul, atau latarbelakang peristiwanya masing-masing. Kenyataan ini semakin mengukuhkan bahwa ayat-ayat Alquran menjawab peristiwa-peristiwa temporal yang muncul pada saat itu. Para ulama juga telah menyatakan bahwa kebertahapan Alquran yang berlangsung selama sekitar 23 tahun mengandung arti bahwa surat-surat atau ayat-ayat dalam Alquran berkaitan dengan serangkai peristiwa-peristiwa yang bersifat temporal. Pengetahuan tentang asbab an-nuzul adalah sesuatu yang niscaya bagi para pengkaji Alquran, sebab tanpa ini mereka bisa terjebak pada kesalahpahaman, kesulitan-kesulitan dan kontradiksi-kontradiksi dan dapat mengakibatkan konflik.

Perlu segera dijelaskan bahwa historisitas ayat-ayat Alquran di atas tidaklah harus dipahami bahwa Alquran hanyalah terbatas untuk komunitas Arabia pada saat ia diturunkan, dan karena itu tidak berlaku dan bersifat universal. Sebab pada setiap ayat selalu tersedia, baik secara eksplisit maupun implisit, alasan dan maksud di balik solusi dan aturan-aturannya, yang dari situ dapat ditarik prinsip-prinsip umumnya. Di sini seorang pembaca Alquran dituntut untuk bisa menggali tujuan moral dan nilai-nilai universalitasnya.

BAB IV

PENUTUP

  1. A. Kesimpulan

Dari uraian di atas maka penulis dapat menarik berbagai poin kesimpulan yang merupakan intisari dari pembahasan ini, yaitu :

  1. Al-Qur’an merupakan dasar-dasar para sufi dalam bertasawuf kedudukannya sebagai ilmu tentang tingkatan  (maqam) dan keadaan (ahwal).
  2. Selain Al-Qur’an dan Hadis juga merupakan landasan dalam tasawuf sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah di Gua Hira yakni tafakkur, beribadah, dan hidup sebagai seorang zahid, Beliau hidup sangat sederhana, terkadang mengenakan pakaian tambalan, tidak makan dan minum kecuali yang halal, dan setiap malam senantiasa beribadah kepada Allah SWT.
  3. Dikalangan para sahabat juga banyak yang mempraktekkan tasawuf sebagaimana yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW.
  4. Untuk menjadi seorang sufi kita harus bisa meninggalkan segala yang menyangkut dengan sifat kebendaan dan senantiasa bertaubat serta mendekatkan diri kepada-Nya untuk mencapai ridha Allah SWT.


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………………….

BAB I

PENDAHULUAN…………………………………………………………………………………………

BAB II

PERMASALAHAN………………………………………………………………………………………

BAB III

PEMBAHASAN…………………………………………………………………………………………..

  1. Pengertian Tasawuf ……………………………………………………………………………..
  2. Dasar-dasar Qur’ani Tentang Ilmu Tasawuf………………………………………………
  1. Ayat Al-Qur’an tentang Tasawuf secara eksplisit………………………………….
  2. Ayat Al-Qur’an tentang Tasawuf secara implisit……………………………………
  3. Dasar-dasar Hadist Tentang Ilmu Tasawuf
    1. Hadist tentang Tasawuf secara eksplisit………………………………………………
    2. Hadist tentang Tasawuf secara implisit………………………………………………..
    3. Kiat-kiat menentukan ayat eksplisit dan implisit…………………………………

BAB IV

PENUTUP

  1. Kesimpulan………………………………………………………………………………………..
  2. Kritik dan Saran …………………………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon dan Mukhtar Solihin. Ilmu Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia, 2006.

Departemen Agama RI.  Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung : Diponegoro,

2005.

Rahmat, Jalaluddin. Meraih Cinta Ilahi ; Pencerahan Sufistik, Bandung:Remaja

Rosdakarya, 2001.

Sayyid Abi Bakar Ibnu Muhammad Syatha, Missi Suci Para Sufi, Yogyakarta : Mitra

Pustaka, 2002.

Shayk Ibrahim Gazuri Ilahi, Anal Haqq, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996.

Shihab,  Quraish. Tafsir al-Misbah, Jakarta : Lentera Hati, 2001.


[1] Rosihon Anwar  dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung : Pustaka Setia, 2006), hlm.16.

[2] Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved. Minggu, 24 Februari 2008

[3] Ibid., hlm. 122.

[4] Q.S Al-Maidah: 54

[5] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2001), hlm. 121.

[6] Q.S At-Tahrim: 8

[7] Jalaluddin Rahmat, Meraih Cinta Ilahi ; Pencerahan Sufistik, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 8.

[8] Q.S Al-Baqarah: 115

[9] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Op.cit., hlm. 19.

[10] Q.S Al-Baqarah: 186

[11] Q.S Qaf : 16

[12] Rosihin Anwar dan Mukhtar Solihin, Op.cit., hlm. 21.

[13] Q.S An-Nisa’ : 77

[14] Q.S At-Thalak : 3

[15] Q.S Ibrahim : 7

[16] Q.S Al-Baqarah : 155

[17] Q.S Al-Maidah : 119

[18] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Op.cit., hlm. 26.

[19] Shayk Ibrahim Gazuri Ilahi, Anal Haqq, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 152.

[20] Sayyid Abi Bakar Ibnu Muhammad Syatha, Missi Suci Para Sufi, (Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2002), hlm. 78.

[21] Ibid., hlm. 80.

[22] Rosihon Anwar  dan Mukhtar Solihin, Op.cit., hlm. 26.

Kategori:Uncategorized

Bos DAN pEMIMPIN

Betapa sering orang gagal untuk menjadi pemimpin karena mereka tidak
berlaku sebagai pemimpin melainkan berlaku sebagai boss. H. Gordon
Selfridge adalah pendiri salah satu department store (pusat
perbelanjaan) di London yang merupakan salah satu department store
terbesar di dunia. Ia mencapai kesuksesan tersebut dengan menjadi
seorang ‘pemimpin’ dan bukan dengan menjadi ‘Boss’. Apakah perbedaan
antara pemimpin dengan boss? Di bawah ini adalah perbandingan yang
diberikan oleh Gordon Selfridge antara orang yang bertipe pemimpin dan
orang yang bertipe boss.
Seorang boss mempekerjakan bawahannya;
Tetapi seorang pemimpin mengilhami mereka,
Seorang boss mengandalkan kekuasaannya;
Tetapi seorang pemimpin mengandalkan kemauan baik.
Seorang boss menimbulkan ketakutan;
Tetapi seorang pemimpin memancarkan kasih.
Seorang boss mengatakan ‘aku’;
Tetapi seorang pemimpin mengatakan ‘kita’.
Seorang boss menunjukkan siapa yang bersalah;
Tetapi seorang pemimpin menunjukkan apa yang salah.
Seorang boss tahu bagaimana sesuatu dikerjakan’
Tetapi seorang pemimpin tahu bagaimana mengerjakannya.
Seorang boss menuntut rasa hormat;
Tetapi seorang pemimpin membangkitkan rasa hormat;
Seorang boss berkata, ‘Pergi!’;
Tetapi seorang pemimpin berkata, ‘Mari kita pergi!’
Maka jadilah seorang pemimpin, dan bukan seorang bos

Kategori:Uncategorized

SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM by Hamdan

SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM

PELAJARAN I

STUDI SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM

A. Studi Sejarah Pendidikan Islam

Secara etimologis perkataan “sejarah” yang dalam bahasa Arab disebut tarikh, sirah atau ilmu tarikh yang berarti ketentuan masa lampau. Sedangkan secara terminologi sejarah adalah keterangan yang telah terjadi pada masa lampau.

Sedangkan pendidikan Islam menurut Prof Dr. Omar Muhammad adalah usaha mengubah tingkah laku sendiri dan kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan yang dilandasi dengan nilai-nilai Islam.

Bila dirangkaikan kata sejarah dengan kata pendidikan Islam dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Catatatan peristiwa tentang pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam dari sejak lahirnya hingga sekarang ini.

2. Satu cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam, baik dari segi gagasan atau ide-ide, konsep lembaga maupun operarionalisasi sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga saat ini.

B. Obyek dan Metode Sejarah Pendidikan Islam

1. Obyek Sejarah Pendidikan Islam

Sejarah biasanya ditulis dan dikaji dari sudut pandangan atau fakta atau kejadian tentang peradaban suatu bangsa, maka obyek sejarah pendidikan Islam mencakup fakta-fakta yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam baik informal, formal maupun non formal.

2. Metode Sejarah Pendidikan Islam

Metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisasi secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau, yaitu diperoleh melalui proses yang disebut historiografi (penulisan sejarah). Mengenai metode yang dipergunakan dalam penggalian dan penulisan sejarah pendidikan Islam itu sendiri ada bermacam-macam, Untuk penggalian sejarah umumnya menggunakan metode, yaitu:

a. Metode lisan

b. Metode Observasi

c. Metode Dokumentar

Sedangkan dalam rangka penulisan sejarah pendidikan Islam menggunakan metode:

a. Metode diskriftif, dalam metode ini digambarkan pendidikan Islam, yaitu ajaran yang dibawa Rasulullah SAW dalam al-Qur’an dan Hadist yang berhubungan dengan pendidikan, diuraikan sebagaimana adanya, dengan tujuan untuk memahami makna yang terkandung dalam syariat Islam tersebut.

b. Metode koperatif, dalam metode ini berusaha membandingkan sebuah perkembangan pendidikan Islam dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam.

c. Metode analisis sintesis, dalam metode ini pendidikan Islam dilihat secara kritis, analisis dan bahasan yang luas serta ada kesimpulan yang spesifik sehingga tampak adanya kelebihan dan kekhasan pendidikan Islam.

C. Kegunaan Sejarah Pendidikan Islam

Pada dasarnya kegunaan sejarah pendidikan Islam ada dua, yaitu:

1- Bersifat Umum, yaitu sebagai faktor keteladanan

2- Bersifat khusus, yaitu berguna dalam bidang akademis, karena kedudukan sejarah pendidikan Islam selain untuk perbendaharaan perkembangan ilmu pengetahuan juga dalam rangka menumbuhkan persfektif baru dalam usaha mencari relevansi pendidikan Islam terhadap segala bentuk pertumbuhan dan perkembangan Iptek.

D. Periodisasi Sejarah Pendidikan Islam

Secara garis besar Harun Nasutioan membagi sejarah Islam kepada tiga periode, yaitu periode klasik, pertengahan dan modern.

Kemudian periodisasi sejarah pendidikan Islam itu sendiri adalah:

1- Masa pertumbuhan dan perkembangan Pendidikan Islam, yaitu sejak masa Rasulullah SAW, masa Khulafaurrasyidin dan masa Umayyah.

2- Masa kejayaan pendidikan Islam, yaitu berlangsung sejak pemerintahan Daulah Abbasiyah sampai dengan jatuhnya kota Bagdad yang ditandai dengan perkembangan dan kemajuan pesat ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam.

3- Masa kemunduran pendidikan Islam, yaitu berlangsung sejak jatuhnya kota bagdad sampai jatuhnya Mesir oleh Napoleon sekitar abad 18 M yang ditandai dengan lemahnya kebudayan Islam dan berpindahnya pusat pengembangan kebudayaan dan peradaban manusia ke barat.

4- Masa Pembaharuan pendidikan Islam, berlangsung sejak pendudukan Mesir oleh Napoleon di akhir abad ke 18 M sampai sekarang.

PELAJARAN II

MASA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN

PENDIDIKAN ISLAM

A. Pendidikan Masa Rasulullah SAW

1. Fase Mekkah

Awal terjadinya pendidikan Islam semenjak Muhammad diangkat menjadi rasul pada tanggal 17 Ramadhan tahun ke-40 dari usia beliau, bertepatan tanggal 6 Agustus 610 M. Ayat yang pertama turun adalah QS al-a’alaq: ayat 1-5. Kira-kira 3 ½ tahun lamanya sesudah menerima wahyu yang pertama barulah Rasulullah menerima wahyu yang kedua, yaitu QS al-Muddatstsir: ayat 1-7.

Masyarakat Mekkah pada waktu Rasulullah dlahirkan dikenal dengan masyarakat jahiliyah. Kepercayaan agama mereka adalah berpegang teguh dengan tradisi nenek moyang mereka, yaitu menyembah berhala.

Adapun misi Nabi adalah menciptakan kembali masyarakat yang mengabdi kepada Allah SWT semata dan menegakkan keadilan serta kebenaran yang menyeluruh.

Semula usaha kegiatan seruan Rasulullah SAW tidak dihiraukan oleh peminpin-peminpin Quraisy. Hal ini disePELAJARANkan oleh beberapa faktor, yaitu:

1- Persaingaan kekuasaan, kaum Quraisy tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan.

2- Persamaan hak antara kasta bangsawan dan kasta hamba sahaya yang dilakukan Rasulullah SAW.

3- Takut dibangkitkan

4- Taklid kepada nenek moyang secara membabi buta.

5- Memperniagakan patung. Agama Islam melarang menyembah, memahat dan menjual patung. Karena itu saudagar-saudagar patung memandang agama Islam sebagai penghalang rezeki.

Pelaksanaan pembinaan pendidikan Islam yang dilakukan Nabi bertahap-tahap, adapun tahapan-tahapan tersebut adalah :

a. Pendidikan perorangan yang dilakukan secara Rahasia

Setelah menerima wahyu kedua Rasulullah SAW memulai tugasnya yang dihadapkan kepada keluarga dan para sahabat beliau yang paling dekat. Adapun materi yang diberikan adalah ayat-ayat dari kedua wahyu yang telah beliau terima itu.

Pendidikan yang pertama dilakukan Rasulullah SAW pada saat ini adalah pembentukan pribadi muslim yang dibina untuk menjadi kader-kader muslim yang bersemangat, memiliki jiwa mental yang kuat serta tangguh dari segala cobaan ; yang mana kelak diharapkan menjadi unsur bagi pembentukan masyarakat Islam dan muballig atau pendidik yang baik yang menjadi contoh teladan bagi murid-muridnya.

Karena pendidikan yang dilakukan Rasulullah SAW kepada sahabatnya masih secara perorangan dan bersifat rahasia, maka beliau kemudian memilih rumah al-Arqam sebagai markas pusat pendidikan bagi kaum muslimin itu. Rasulullah SAW memilih tempat ini, selain disebabkan karena kesetiaan al-Arqam kepada Rasul dan Islam, juga letaknya sangat baik karena terlindung dari penglihatan kaum Quraisy sehingga akan memberikan keamanan dan ketenangan bagi kaum muslimin.

b. Menyeru dan Mengajak Bani Abdul Muthalib ke dalam Islam

Setiap langkah dan kegiatan Nabi dalam menyeru dan mengajak umat manusia kepada Islam adalah sesuai dengan dan menurut rencana Tuhan. Setelah turun wahyu QS. as-Syu’ara : 214-215.

ö‘É‹Rr&ur y7s?uŽÏ±t㠚úüÎ/tø%F{$# ÇËÊÍÈ ôÙÏÿ÷z$#ur y7yn$uZy_ Ç`yJÏ9 y7yèt7¨?$# z`ÏB šúüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÊÎÈ

Artinya : Dan berikanlah peringatan kepada kerabat-kerabat (famili-famili) mu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang pengikutmu, yaitu orang-orang yang beriman.

Seruan dan ajakan nabi ini disambut dan dibenarkan dengan baik oleh sebagian mereka dan sebagian lagi mendustakannya terutama Abu Lahab paman nabi sendiri beserta istrinya sangat menentangnya. Tahap ini adalah tahap permulaan seruan dan ajakan secara terang-terangan kepada agama baru itu.

Perintah seruan dan ajakan secara terang-terangan ini sesuai dengan kenyataan bahwa sahabat Rasulullah SAW sudah bertambah banyak, mereka merasa tidak perlu takut terhadap gangguan dan ancaman kaum Quraisy. Disamping itu mereka yang akan masuk Islam pun masih banyak. Karena itu seruan dan ajakan secara terbatas dan rahasia itu sudah tak mungkin lagi dilaksanakan. Selain itu tempat pertemuan yang biasa dilakukan di rumah Al-Arqam pun sudah diketahui pula oleh kaum musyrikin.

c. Seruan dan Ajakan Umum

Setelah ajakan dan seruan yang disampaikan kepada Bani Abdul Muthalib tidak memperoleh hasil seperti yang diharapkan, maka Nabi Muhammad SAW pun beserta sahabatnya meningkatkan usaha dan kegiatannya. Usaha meningkatkan kegiatannya itu pun didasarkan pada rencana Allah SWT pula, sebagaimana terdapat dalam QS. al-hijr : 94-95.

÷íy‰ô¹$$sù $yJÎ/ ãtB÷sè? óÚ̍ôãr&ur Ç`tã tûüÏ.Ύô³ßJø9$# ÇÒÍÈ $¯RÎ) y7»oYø‹xÿx. šúïÏä̓öktJó¡ßJø9$# ÇÒÎÈ

Artinya : Maka sampaikanlah olehmu apa yang telah diperintahkan kepadamu secara tegas (terang-terangan), dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara kamu dari (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan kamu.

Sesudah ayat ini turun, maka Rasulullah SAW pun mulai menyeru dan mengajak seluruh lapisan manusia agar memeluk agama Islam. Seruan Nabi tidak terbatas kepada orang-orang Mekkah atau Quraisyi tapi juga kepada orang-orang dari luar Mekkah terutama pada musim haji.

Akan tetapi seruan untuk mengembalikan kaum Quraisy kepada ajaran tauhid untuk sementara belum berhasil. Bahkan mereka selalu membuat perlawanan kepada Nabi Muhammad SAW supaya menghentikan dakwahnya. Melihat kondisi yang demikian mendorong nabi untuk berhijrah yaitu ke Madinah.

2. Fase Madinah

Pendidikan Islam di Madinah pada dasarnya merupakan lanjutan dari pendidikan di Mekkah. Pada fase Mekkah ciri pembinaan pendidikan Islam adalah pendidikan tauhid, sedangkan pada fase Madinah ciri pokok pembinaan pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai pendidikan sosial dan politik.

Pendidikan fase Madinah apabila dirumuskan adalah sebagai berikut:

1- Pendidikan sosial politik dengan mewujudkan masyarakat yang baru.

2- Pendidikan keagamaan.

3- Pendidikan keluarga.

4- Pendidikan dakwah.

5- Pendidikan pertahanan keagamaan.

B. Pendidikan Islam Pada Masa al-Khulafaur-rasyidin

Kalau masa Rasulullah SAW dianggap sebagai masa penyemaian nilai kebudayaan Islam ke dalam sistem budaya bangsa arab pada masa itu, dengan meluasnya ajaran Islam yang mempunyai sistem budaya yang berbeda-beda, maka pendidikan Islam masa Khulafaurrasyidin ini perlu penanaman nilai dan kebudayaan Islam agar tumbuh dengan subur. Adapun pendidikan masa khulafaurrasyidin ini :

1. Masa Khalifah Abu Bakar (11-13 H/ 632-634 M)

Sebagai khalifah pertama, Abu Bakar menghadapi masalah ummat yang cukup serius, yang harus diselesaikan dengan cara yang tegas dan pasti. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi Abu Bakar itu sebagai berikut :

Kaum murtad

Orang yang mengaku dirinya sebagai Nabi beserta para pendukungnya

Kaum yang tidak mau membayar zakat.

Adapun sebab-sebab mereka berbuat demikian adalah :

Ajaran Islam belum dipahami benar

Motivasi Islamnya bukan karena kesadaran dan keinsyafan iman yang sungguh-sungguh tapi karena pertimbangan politik dan ekonomi.

Rasa kesukuan yang mendalam, mereka menganggap Islam menempatkan mereka dibawah kekuasaan bangsa Quraisy.

Kesalahan memahami ayat-ayat al-Qur’an yang menimbulkan anggapan bahwa dengan wafatnya Rasulullah SAW mereka tidak mempunyai kewajiban melaksanakan ajaran agama Islam.

Dalam menghadapi kaam pemberontak ini, terlebih dahulu mereka dikirimi surat dengan maksud untuk menyadarkan kembali kepada jalan yang benar. Akan tetapi para pemberontak itu tetap membangkang, makanya Abu Bakar memeranginya.

Masa pemerintahan Abu Bakar tidak lama, tapi beliau telah berhasil memberikan dasar-dasar kekuatan bagi perjuangan perluasan da’wah dan pendidikan Islam.

2. Masa Khalifah Umar bin Khattab (13-23 H/634-644 M)

Setelah Abu Bakar wafat, kemudian digantikan oleh Umar bin Khattab. Usaha memperluas wilayah Islam yang telah dilakukan oleh Abu Bakar dilanjutkan oleh Umar dengan hasil yang gemilang. Wilayah pada masa Umar meliputi Iraq, Persia, Syam, Mesir dan Barqah. Bangsa-bangsa tersebut sebelum Islam masuk ke negaranya telah memiliki kebudayaan dan peradaban lama.

Meluasnya wilayah Islam mengakibatkan meluas pula kebutuhan kehidupan dalam segala bidang. Keteraturan dalam bidang pemerintahan dan segala perlengkapannya memerlukan pemikiran yang sangat serius. Untuk memenuhi kebutuhan ini diperlukan tenaga manusia yang memiliki ketrampilan dan keahlian yang memadai bagi kelancaran roda pemerintahan itu sendiri. Ini berarti peranan pendidikan harus menampilkan dirinya.

Semangat berda’wah dan pendidikan dari kaum muslimin yang berada di daerah-daerah baru menunjukkan kekuatan yang sangat tinggi. Thomas W. Arnold mengatakan ketentuan-ketentuan khusus mengenai metode dan materi pendidikan dan pengajaran agama bagi para penduduk yang baru masuk Islam segera disusun, demi mencegah kesimpang siuran pemahaman agama, baik yang menyangkut dasar-dasar pokok iman maupun mengenai ibadah dan muamalah. Langkah-langkah pencegahan ini perlu, mengingat derasnya arus penduduk yang berbondong-bondong masuk Islam. Oleh karena itu, Khalifah Umar bin Khattab mengangkat dan menunjuk guru-guru untuk setiap negeri, yang bertugas mengajarkan kepada penduduk setempat tentang isi al-Qur’an dan soal-soal lain yang berhubungan dengan masalah agama.

Pada masa ini bahasa arab mulai menampakkan dirinya sebagai bahasa linguage franka dalam wilayah Islam, selain digunakan sebagai alat komunikasi juga sebagai alat pemahaman al-Qur’an dan agama Islam pada umumnya serta pemersatu kesatu paduan ummat. Dengan demikian kebudayaan Islam mulai terbina.

3. Masa Khalifah Usman bin Affan (23-35 H / 644-656 M)

Dalam menjalankan tugas kepiminpinannya Usman bin Affan banyak menghadapi masalah politik yang sangat gawat. Masa enam tahun pertama kebijaksanaannya nampak baik, tapi masa enam tahun terakhir kelemahan-kelemahan pribadinya mulai nampak, sehingga berdampak negatif bagi pemerintahannya.

Kegiatan pendidikan masih berjalan seperti yang dilakukan oleh para sahabat Rasul menghasilkan ulama tabiin.

Kegiatan pendidikan yang paling besar yang dilakukan Usman bin Affan adalah menyalin sebuah mushaf sebagai rujukan umat Islam yang disebut dengan mushaf usmani karena sebelumnya sudah terjadi perselisihan dalam hal bacaan al-Qur’an.

Pada masa pemerintahan Usman bin AffanTugas mendidik dan mengajar umat diserahkan kepada umat itu sendiri, artinya pemerintah tidak mengangkat dan menggaji guru-guru / pendidik. Sedang para pendidik sendiri melaksanakan tugasnya itu hanya dengan mengharapkan keridhoan Allah semata.

Mata pelajaran yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Ada fase pembinaan, pendidikan dan pelajaran. Dalam fase pembinaan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan agar peserta didik memperoleh kemantapan iman, sebagaimana yang telah dilakukan Rasulullah SAW. Dalam fase pendidikan lebih ditekankan pada ilmu-ilmu praktis, dengan maksud agar mereka dapat segera mengamalkan ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Pelajaran-pelajaran lain yang sangat penting untuk menunjang pemahaman al-Qur’an dan Hadis juga diberikan seperti pelajaran bahasa arab, menulis, membaca, tata bahasa, syair dan pribahasa.

Tempat belajar masih seperti sebelumnya, mereka belajar di kuttab, di mesjid atau di rumah-rumah yang mereka sediakan sendiri atau ke rumah gurunya.

Demikian sarana dan wahana pendidikan pada masa Usman bin Affan, ia melanjutkan apa yang telah ada. Dia sendiri lebih sibuk menghadapi masalah pemerintahannya.

4. Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H/ 656-661 M)

Masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib diisi dengan kekacauan dikalangan umat Islam sendiri. Sampai-sampai Prof Dr Ahmad Shalabi mengatakan “sebetulnya tidak pernah ada barang satu hari pun, keadaan stabil selama pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Karena itu dapat diduga bahwa kegiatan pendidikan pun saat itu mendapat gangguan dan hambatan, terhambat karena adanya perang saudara. Stabilitas dan keamanan sosial merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya perkembangan dan pembangunan dalam segala bidang kehidupan masyarakat itu sendiri baik ekonomi, politik, sosial budaya maupun pengembangan intelektual dan agama.

Ali sendiri pada saat itu, tidak sempat memikirkan masalah pendidikan, karena seluruh perhatiannya ditumpahkan pada masalah yang lebih penting dan mendesak, yaitu keamanan dan ketentraman dalam segala kegiatan kehidupan, yakni mempersatukan kembali umat Islam. Akan tetapi sayang, Ali belum sempat meraihnya.

C. Pendidikan Islam Masa Umayyah (41-132 H / 661-750 M).

Tewasnya Khalifah Ali bin Abi Thalib memberi kesempatan dan peluang yang baik bagi naiknya Muawiyah menduduki jabatan khalifah, yang telah menjadi idamannya semenjak Usman bin Affan menjabat khalifah.

Naiknya Muawiyah menjadi kholifah berarti sistem baru dalam ke-kholifahan dimulai. Penggantian kholifah tidak dipilih seperti kholifah-kholifah sebelumnya, akan tetapi diwariskan kepada keturunannya.

Dalam mengendalikan pemerintahannya Muawiyah hampir seluruh perhatiannya ditujukan kepada masalah politik dan keamanan. Percaturan politik dan gerakan-gerakan militer yang terjadi pada masa ini, baik dalam usaha perluasan wilayah Islam maupun dalam menghadapi pemberontakan-pemberontakan, menimbulkan pertumbuhan dan perkembangan dalam bidang alam pikiran.

1. Tempat dan Lembaga Pendidikan

Awal kegiatan intelektual kaum muslimin lebih menonjol dalam bidang hukum daripada teologi. Dalam periode Daulah Umayyah terdapat dua jenis pendidikan yang berbeda sistem dan kurikulumnya, yaitu:

1- Pendidikan khusus, yaitu pendidikan yang diselenggarakan dan diperuntukkan bagi anak-anak khalifah dan anak-anak para pembesarnya. Kurikulumnya diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang kendali pemerintahan.

2- Pendidikan umum, Pendidikan diperuntukkan bagi rakyat biasa. Pendidikan ini merupakan kelanjutan dari pendidikan yang telah dilaksanakan sejak zaman Nabi masih hidup, ia merupakan sarana yang sangat penting bagi kehidupan agama.

Adapun bentuk-bentuk pendidikan pada masa ini adalah :

a. Pendidikan keluarga

Pendidikan Islam mengenal paham pendidikan seumur hidup. Kurikulum pertama bagi anak adalah pengalaman-pengalaman yang dialami dan disaksikan sendiri dalam lingkunagn rumahnya.

b. Kuttab

Kuttab ini adalah lanjutan dari pendidikan keluarga. Sebagai lembaga pendidikan dasar, kuttab telah tersebar di seluruh wilayah Islam, tumbuh dan berkembang tanpa campur tangan dari pemerintahan.

c. Mesjid

Peranan mesjid sebagai pusat pendidikan dan pengajaran senantiasa terbuka lebar bagi setiap orang yang merasa dirinya cakap dan mampu mengajarkan ilmunya kepada orang yang haus ilmu pengetahuan.

Dalam mesjid ada dua tingkatan sekolah, yaitu

Tingkat menengah, Pelajaran yang diberikan dalam tingkat menengah ini dilakukan secara perorangan. Adapun mata pelajarannya adalah al-Qur’an dan tafsirnya, hadist dan fiqh.

Tingkat perguruan tinggi. Pada tingkat perguruan tinggi ini dilakukan secara halaqah. Adapun mata pelajarannya adalah tafsir, hadist, fiqh dan syariat Islam.

d. Majlis sastra

Majlis sastra ini merupakan gelanggang pembahasan situasi politik dan jalannya roda pemerintahan serta pengembangan ilmu pengetahuan, juga sebagai sarana rekreasi dan kebanggaan kalangan atas.

2. Semangat Ilmu Pengetahuan

Rasa haus kaum muslimin terhadap ilmu pengetahuan jelas nampak dalam usahanya mengembangkan ilmu agama dan bahasa, disamping itu perhatian mereka terhadap perpustakaan telah mulai muncul. Mereka juga dihadapkan pada ilmu-ilmu lama yang telah dimiliki bangsa-bangsa yang sudah berkebudayaan dan berperadaban tinggi, hal ini membangkitkan kegiatan usaha menterjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan Yunani, Qibti, Persia dan India ke dalam bahasa arab.

3. Semangat Ijtihad

Sarana pendidikan menunjukkan kemajuan yang lebih baik dari keadaan sebelumnya, yakni zaman khulafaurrasyidin. Materi dan objek ilmu semakin meluas dan bercabang. Disamping itu rasa haus akan ilmu pengetahuan dan dorongan-dorongan untuk memecahkan persoalan-persoalan baru yang belum ada contohnya dari Rasulullah SAW membangkitkan usaha pengembangan dari ilmu itu sendiri guna memenuhi kebutuhan mereka pada zamannya. Mereka terus belajar dan berijtihad.

PELAJARAN III

MASA KEJAYAAN PENDIDIKAN ISLAM

A. Latar Belakang Sosial Politik

Daulah Abbasiyah didirikan pada tahun 130 H (750 M), dengan khalifah pertamanya adalah Abu Abbas as-Shaffat. Daulah Abbasiyah ini berkuasa sampai tahun 656 H (1258 M) dengan 37 orang khalifah silih berganti.

Pada priode pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Disisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi, karena pada masa al-Mahdi, perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi.

Selain dalam bidang perekonomian, bidang industri pun mengalami peningkatan dengan pesat yaitu seperti industri kertas sebagaimana yang dibuat oleh China telah dapat diusahakan pada masa Harun al-Rasyid.

Dengan demikian, kertas yang berlimpah itu telah ikut memacu perkembangan. Kemantapan dalam bidang politik memungkinkan ekonomi yang berkembang dengan pesat pembangunan dalam segala bidang, baik pertahanan ataupun industri dan perdagangan meningkat luar biasa sehingga dana yang meningkat dan melimpah ruah itu menunjang pengembangan ilmu. Bahan pengetahuan, baik tentang agama atau bukan, yang tersimpan dalam ingatan ataupun tercatat dalam lembaran telah cukup banyak, hal ini mendorong untuk segera diadakan penulisan ilmu secara lebih sistematis. Sehingga pada masa Khalifah al-Ma’mun yang dikenal sebagai khalifah yang cinta ilmu mengadakan penerjemahan buku-buku asing secara besar-besaran. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah dari Kristen dan penganut agama lain yang ahli.

Dari pertikasi antara golongan diantara umat Islam dan non Islam telah ikut pula merangsang kesungguhan para ulama untuk menekuni bidang ilmu. Dan al-Ma’mun juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan baitul Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar.

B. Berkembangnya Lembaga-lembaga Pendidikan Islam

Sebelum timbulnya sekolah dan universitas yang kemudian dikenal dengan lembaga pendidikan formal, dalam dunia Islam sebenarnya telah berkembang lembaga-lembaga yang bersifat nonformal. Lembaga-lembaga ini berkembang terus dan bahkan bersamaan dengannya tumbuh berkembang bentuk-bentuk lembaga-lembaga pendidikan nonformal yang semakin luas. Diantara lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bercorak nonformal tersebut adalah:

a. Kuttab Sebagai Lembaga Pendidikan Dasar

Kuttab adalah tempat belajar menulis. Pada mulanya, diawal perkembangan Islam, kuttab tersebut dilaksanakan di rumah guru-guru yang bersangkutan dan yang diajarkan adalah semata-mata menulis dan membaca. Sedangkan yang ditulis atau dibaca adalah syair-syair yang terkenal pada masanya. Kemudian pada akhir abad pertama Hijriyah, mulai timbul jenis kuttab yang disamping memberikan pelajaran menulis dan membaca, juga mengajarkan membaca al-Qur’an dan pokok-pokok ajaran agama. Pada mulanya, kuttab jenis ini merupakan pemindahan dari pengajaran al-Qur’an yang berlangsung di mesjid, yang sifatnya umum (bukan saja bagi anak-anak, tetapi terutama bagi orang-orang dewasa). Dengan demikian, kuttab tersebut berkembang menjadi lembaga pendidikan dasar yang bersifat formal.

b. Pendidikan Rendah di Istana

Pendidikan anak di istana berbeda dengan pendidikan anak-anak di kuttab. Pada umumnya, di istana orang tua murid (para pembesar di istana) adalah yang membuat rencana pelajaran tersebut selaras dengan anak-anaknya dan tujuan yang dikehendaki orang tuanya (para pembesar di istana), sesuai dengan kebutuhan anaknya kelak sebagai calon pewaris kerajaan.

c. Toko-toko Kitab

Pada permulaan masa Daulah Bani Abbasiyah, dimana ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam sudah tumbuh dan berkembang dan diikuti oleh penulisan kitab-kitab dan berbagai cabang ilmu pengetahuan, maka berdirilah toko-toko kitab. Pada mulanya toko-toko kitab tersebut berfungsi sebagai tempat berjual-beli kitab-kitab yang telah ditulis dalam berbagai ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu, tetapi juga merupakan tempat berkumpul para ulama, pujangga dan ahli-ahli ilmu pengetahuan lain untuk berdiskusi, berdebat, bertukar pikiran dalam berbagai masalah ilmiah. Jadi, sekaligus berfungsi juga sebagai lembaga pendidikan dalam rangka pengembangan berbagai macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam.

d. Rumah-rumah Para Ulama (Ahli Ilmu Pengetahuan)

Rumah-rumah para ulama dan para ahli ilmu pengetahuan menjadi tempat belajar dan pengembangan ilmu pengetahuan. Diantara rumah ulama terkenal yang menjadi tempat belajar adalah rumah Ibnu Sina, al-Ghazali, Ali Ibnu Muhammad al-Fashihi, Ya’qub Ibnu Killis, wazir Khalifah al-Aziz Billah.

e. Majlis atau Saloon Kesusastraan

Dengan majlis saloon kesusastraan, dimaksudkan adalah untuk majlis khusus yang diadakan oleh khalifah untuk membahas berbagai macam ilmu pengetahuan. Dalam majlis sastra tersebut, bukan hanya membahas dan mendiskusikan masalah-masalah kesusastraan saja, melainkan juga berbagai ilmu pengetahuan dan berbagai kesenian. Pada masa Harun al-Rasyid (170-193 H), majlis sastra ini mengalami kamajuan yang luar biasa, karena khalifah sendiri adalah ahli ilmu pengetahuan dan juga mempunyai kecerdasan, sehingga khalifah sendiri aktif didalamnya. Sedangkan negara berada dalam kondisi yang aman, tenang dan dalam zaman pembangunan. Pada masanya sering diadakan perlombaan antar ahli-ahli syair, perdebatan antar fuqaha dan diskusi para sarjana berbagai macam ilmu pengetahuan.

f. Badiah (Padang Pasir, Dusun Tempat Tinggal Badwi)

Sejak berkembang luasnya Islam dan bahasa Arab digunakan sehingga bahasa pengantar oleh bangsa-bangsa diluar bangsa-bangsa Arab yang beragama Islam. Kalau di kota-kota, bahasa yang dipakai adalah bahasa pasaran dan campur baur dengan bahasa-bahasa lain. Ternyata kalau di badiah-badiah atau dusun-dusun tempat tinggal orang-orang Arab tetap mempertahankan keaslian dan kemurnian bahasa Arab. Oleh karena itu, khalifah-khalifah biasanya mengirimkan anak-anaknya ke badiah-badiah ini untuk mempelajari bahasa Arab yang fasih lagi murni dan mempelajari pula syair-syair serta sastra Arab dari sumbernya yang asli.

g. Rumah Sakit

Pada masa jayanya perkembangan kebudayaan Islam, dalam rangka menyebarkan kesejahteraan dikalangan umat Islam, maka banyak didirikan rumah-rumah sakit oleh kahlifah dan pembesar-pembesar negara. Rumah-rumah sakit tersebut, bukan hanya berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati orang-orang sakit, tetapi juga mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan. Dengan demikian, rumah sakit dalam dunia Islam juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan.

h. Perpustakaan

Pada zaman perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, buku mempunyai nilai yang sangat tinggi. Buku adalah merupakan sumber informasi berbagai macam ilmu pengetahuan yang ada dan telah dikembangkan oleh para ahlinya. Disamping itu, berkembang pula perpustakaan-perpustakaan yang sifatnya umum, yang diselenggarakan oleh pemerintah atau merupakan wakaf dari para ulama dan sarjana. Baitul Hikmah di Baghdad yang didirikan oleh Khalifah Harun al-Rasyid adalah merupakan satu contoh perpustakaan Islam yang lengkap yang berisi ilmu-ilmu agama Islam dan berbagai buku-buku terjemahan dari bahasa-bahasa Yunani, Persia, India, Qibty dan Arany. Perpustakaan-pepustakaan dalam dunia Islam pada masa jayanya dikatakan sudah menjadi aspek budaya yang penting, sekaligus sebagai tempat belajar dan sumber pengembangan ilmu pengetahuan.

i. Masjid

Semenjak berdirinya di zaman Nabi Muhammad SAW mesjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kehidupan kaum muslimin. Ia menjadi tempat bermusyawarah, tempat mengadili perkara, tempat menyampaikan penerangan agama dan informasi-informasi lainnya dan tempat menyelenggarakan pendidikan baik bagi anak-anak dan orang-orang dewasa.

Kemudian pada masa Khalifah Bani Umayyah berkembang fungsinya sebagai tempat pengembangan ilmu pengetahuan, terutama yang bersifat keagamaan. Para ulama mengajarkan ilmunya di mesjid. Tetapi, majlis khalifah berpindah ke mesjid atau ke tempat tersendiri. Mesjid-mesjid yang didirikan oleh para penguasa pada umumnya dilengkapi dengan berbagai macam sarana dan fasilitas untuk pendidikan.

C. Berdirinya Madrasah-madrasah

Madrasah adalah salah satu bentuk lembaga pendidikan Islam. Dan model madrasah itu tidak sama dengan mesjid atau lembaga pendidikan Islam lainnya.

Antara madrasah dengan lembaga-lembaga pendidikan sebelumnya mempunyai perbedaan, dimana lembaga-lembaga pendidikan sebelum madrasah tidak diatur secara administratif, sedangkan madrasah memiliki administrasi yang terarur dan rapi sehingga pelaksanaan pendidikan mengikuti aturan yang diterapkan oleh pengelola madrasah.

D. Sarjana-sarjana Muslim

1. Al-Kindi

Al-Kindi atau nama lengkapnya ialah Abu Yusup Ya’qub Ibn Ishak Ibn al-Shaban Ibn Imran Ismail Ibn Muhammad Ibn al-Asyats Ibn Qais al-Kindi. Ia dilahirkan pada tahun 185 H atau 801 M di Kufah pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid dan wafat tahun 873 M. Al-Kindi dipandang sebagai salah seorang filosof muslim pertama yang lahir di dunia Islam dan dikenal sebagai filosof Islam yang bergelar “Filosof Arab”.

2. Al-Farabi

Nama lengkapnya adalah Abu Nashir Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tharkam Ibnu Auzalagh al-Farabi, ia dilahirkan pada tahun 870 M (257 H) di desa Wasit, suatu daerah kota Farab, yaitu wilayah kekuasaan Turki.

Al-Farabi adalah seorang filosof muslim yang telah meninggalkan sejumlah tulisan yang penting, yang pada umumnya berupa risalah-risalah pendek dan kebanyakan karyanya merupakan terjemahan, komentar dan ulasan-ulasan dari karya Plato dan Aristoteles.

3. Ibnu Miskawaih

Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Khazin Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’kub Miskawaih, Ia dilahirkan di Ray (sekarang Taheran) pada tahun 320 H / 532 M. Ia wafat pada tahun 421 H / 1030 M.

Perhatiannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesustraan amat besar. Pada masa inilah Ibn Miskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan ahdud al-daulah, dan pada masa ini juga terkenal sebagai filosof, thabib, ilmuwan dan pujangga.

4. Ibnu Sina

Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Husain Ibnu Abdillah Ibn Hasan Ibn Ali Ibn Sina. Di Eropa dikenal dengan nama Avi Cenna, ia lahir pada tahun 370 H / 980 H disuatu tempat yang bernama Afsyana di Bukhara. Dalam usia 10 tahun, ia banyak mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal al-Qur’an seluruhnya.

Menjelang usia 17 tahun ia dikenal sebagai seorang ahli kedokteran, ia berhasil mengobati Pangeran Nuh Ibnu Manshur sehingga ia diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk berkunjung ke perpustakaan pangeran. Kesempatan itu digunakannya dengan sebaik-baiknya mengembangkan ilmu pengetahuannya / kemampuannya. Ibnu Sina banyak mengarang buku yang menurut catatan telah menulis 276, baik berupa buku maupun manuskrip.

E. Pendidikan Wanita

K. Hitti menandaskan bahwa anak-anak perempuan diperbolehkan mengikuti sekolah tingkat dasar. Fayyaz Mahmud juga menjelaskan bahwa pada masa Dinasti abbasiyah anak-anak perempuan juga mempunyai kesempatan untuk belajar di maktab-maktab.

Syalabi menyatakan bahwa wanita biasanya menerima pelajaran di rumah dari salah satu anggota keluarga yang khusus didatangkan untuk mereka. Adapun ilmu yang penting bagi kaum wanita adalah ilmu tentang akhlak, hubungan dengan sosial, atau muamalah dan kesehatan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa wanita telah diberi kesempatan untuk mengikuti kelas-kelas terbuka, tetapi wanita yang dapat merasakan kesempatan ini jumlahnya relatif sedikit.

PELAJARAN IV

PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KEMUNDURAN

A. Latar Belakang

Menurut M.M. Syarif, sebagaimana dikutip oleh Zuhairimi menjelaskan bahwa gejala kemunduran pendidikan Islam mulai tampak setelah abad ke-13 M yang ditandai dengan terus melemahnya pemikiran Islam sampai pada abad ke-18M. Selama masa ini pendidikan Islam lewat lembaga madrasahnya sangat terbatas dalam bidang pendidikan Naqliyah dan Lisaniyah. Tidak lagi secemerlang zaman Abbasiyah dimana pendidikan meliputi Naqliyah, Aqliyah dan Lisaniyah berkembang secara seimbang. Walaupun demikian masih ada juga madrasah-madrasah yang mempelajari kedokteran, filsafat, ilmu musik tapi jumlahnya sangat sedikit. Singkatnya, pendidikan dan pengajaran Islam pada masa itu jauh menurun.

Setelah Mesir jatuh dibawah kekuasaan Sultan Salim Dinasti Usmaniyah Turki, Sultan Salim memerintahkan supaya kitab-kitab di perpustakaan dan barang-barang berharga di Mesir dipindahkan ke Istanbul. Keturunan Sultan Mameluk, ulama-ulama dan para pembesar yang berpengaruh di Mesir dibuang ke Istanbul. Berpindahnya ulama-ulama dan kitab-kitab perpustakaan Mesir ke Istanbul, maka Mesir sebagai pusat ilmu pengetahuan pada masa Mameluk menjadi tidak berarti sama sekali.

Masa Usmaniyah merupakan zaman yang paling suram dalam sejarah pendidikan Islam, pada masa itu hampir tidak ada lagi ulama yang lahir dan tidak ada lagi pemikir yang menemukan buah pikirnya yang original. Memang Sultan-sultan Usmaniyah tampil juga mendirikan lembaga-lembaga pendidikan seperti madrasah, namun tidak lebih baik daripada yang pernah diselenggarakan oleh Sultan-sultan Mameluk.

Al-Azhar yang pernah populer pada masa Mameluk, maka pada masa Usmaniyah al-Azhar hanya lembaga pendidikan yang tidak terhitung. Bidang studi yang diajarkan tidak lebih dari ilmu-ilmu Naqliyah dan Lisaniyah, sedangkan ilmu-ilmu Aqliyah seperti; filsafat, ilmu pasti dan sebagainya dianggap haram mempelajarinya. Ini dikarenakan meluasnya perkembangan paham sufistik.

B. Faktor-faktor Penyebab Kemunduran

M.M. Syarif mengungkapkan bahwa pikiran Islam menurun setelah abad ke-13 M dan terus melemah sampai abad ke-18 M. Diantara sebab-sebab melemahnya pikiran Islam tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1. Telah berlebihannya filsafat Islam (yang bercorak sufistik) yang dimasukkan oleh imam al-Ghazali dalam alam Islami di Timur dan berlebihannya pula Ibnu Rusyd dalam memasukkan filsafat islamnya (yang bercorak rasionalistik) ke dunia Islam di Barat.

2. Kehidupan sufi berkembang dengan pesat. Madrasah-madrasah yang ada dan berkembang diwarnai dengan kegiatan-kegiatan sufi.

3. Umat Islam, terutama para pemerintahnya (khalifah, sultan, amir-amir) melalaikan ilmu pengetahuan dan kebudayaan dan tidak memberikan kesempatan untuk berkembang.

4. Terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang dibarengi dengan serangan dari luar, sehingga menimbulkan kehancuran-kehancuran yang mengakibat-kan terhentinya kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan di dunia Islam.

Dengan semakin ditinggalkannya pendidikan intelektual, maka semakin statis perkembangan kebudayaan Islam, karena daya intelektual generasi penerus tidak mampu mengadakan kreasi-kreasi budaya baru, bahkan tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan baru yang dihadapi sebagai akibat perubahan dan perkembangan zaman. Ketidakmampuan intelektual tersebut merealisasi dalam “pernyataan” bahwa pintu ijtihad telah tertutup, maka terjadilah kebekuan intelektual secara total.

Kehancuran total yang dialami oleh kota Baghdad dan Granada sebagai pusat-pusat pendidikan dan kebudayaan Islam, menandai runtuhnya sendi-sendi pendidikan dan kebudayaan Islam. Musnahnya lembaga-lembaga pendidikan dan semua buku-buku ilmu pengetahuan dari kedua pusat pendidikan di bagian Timur dan Barat dunia Islam tersebut, menyebabkan pula kemunduran pendidikan di seluruh dunia Islam.

Kemunduran dan kemerosotan mutu pendidikan Islam dan pengajaran pada masa ini, nampak jelas dalam sangat sedikitnya materi kurikulum dan mata pelajaran pada umumnya madrasah-madrasah yang ada. Pada masa ini madrasah-madrasah tidak lagi mengajarkan ilmu-ilmu Aqliyah, kalaupun ada sangat sedikit sekali.

C. Profil Pendidikan Islam Pada Masa Kemunduran

Adapun profil pendidikan pada masa kemunduran pendidikan Islam dapat kita tampilkan secara garis besarnya. Sistem pengajaran pada masa Mameluk sudah mengarah kepada metode penghafalan, maka pada masa Mameluk metode menghafal berbagai matan merupakan sistem pengajaran yang sudah melembaga seperti menghafal Matan al-Jurumiyah, Matan Taqrib, Matan Alfiyah, Matan Sullan, dan lain-lain. Sistem diskusi, simposium yang pernah berkembang pada masa kejayaan pendidikan Islam tidak terdengar lagi penyelenggaraan. Disamping itu, ilmu tasawuf merupakan satu-satunya ilmu yang berkembang sangat pesat.

Kenyataan diatas memang dapat dibuktikan karena ulama-ulama pada masa Mameluk boleh dikatakan tidak ada mencipta lagi, lebih-lebih pada masa Usmaniyah. Mereka hanya mengunyah-ngunyah kitab-kitab para ulama terdahulu dengan meringkas kitab-kitab lama yang panjang.

Biasanya, kurikulum dilaksanakan atas metode urutan mata pelajaran. Jadi, sebagai contoh urutan tersebut; Bahasa dan Tata Bahasa Arab, Kesusastraan, Ilmu Hitung, Filsafat, Hukum, Yurisprudensi, Teologi, Tafsir al-Qur’an dan Hadits. Si murid melewati kelas demi kelas dengan menyelesaikan satu mata pelajaran dan memulai lagi satu mata pelajaran yang lebih tinggi. Dengan sendirinya sistem ini tidak memberikan banyak waktu untuk setiap mata pelajaran. Tetapi metode ini bukanlah satu-satunya metode yang dipakai. Seringkali seorang murid mulai dengan suatu ringkasan dalam sebuah mata pelajaran dan di kelas selanjutnya ia mempelajari pelajaran yang sama secara terperinci dengan disertai komentar-komentar.

Tugas guru pada masa ini adalah mengajarkan komentar-komentar orang lain disamping teks aslinya dan biasanya tanpa menyertakan komentarnya sendiri dan bahkan tidak ada persesuaian pendapat tentang mata pelajaran yang satu dengan mata pelajaran yang lainnya.

Begitulah gambaran keadaan pendidikan pada masa Mameluk dan Usmaniyah ini, para pelajar banyak yang melarikan diri dari belajar filsafat, eksakta dan ilmu-ilmu Aqliyah lainnya ke dunia pembahasan Naqliyah semata. Apalagi al-Azhar telah mengharamkan filsafat sehingga pengetahuan yang dirintis pada masa kebangkitan pendidikan Islam dan maju pesat pada masa kejayaan pendidikan Islam menjadi ilmu pengetahuan yang menjijikkan. Sebagai gantinya tasawuf berkembang pesat yang ditandai dengan berkembangnya berbagai macam thariqat dan memberikan pengaruh yang sangat besar pada masa itu.

D. Beberapa Ulama Terkenal Pada Masa Kemunduran

Meskipun keterpurukan dan kemunduran terjadi dalam pendidikan Islam, namun pada masa Mameluk dan Usmaniyah masih terdapat ulama-ulama mujtahid, tetapi tidak dapat dikategorikan kepada imam mujtahid mutlak seperti imam mujtahid pada masa kejayaan pendidikan Islam. Adapun imam mujtahid dimaksud adalah seperti:

1. Izuddin bin Abdus Salam (wafat 660 H).

2. Ibnu Hajar al-Asqalny (774-852 H).

3. Imam Nawawi as-Syafi’e (631-676 H).

4. Syekh Zakaria al-Anshary (wafat 924 H).

5. Syekh Samsuddin Ramaly (wafat 1004 H).

6. Dan masih banyak lagi ulama yang tidak terkoper dalam makalah ini.

PELAJARAN V

MASA PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM

A. Latar Belakang Pembaharuan Pendidikan Islam

Pembaharuan pendidikan Islam adalah upaya dasar untuk memperbaiki aspek-aspek pendidikan Islam dalam praktek (termasuk pengajaran). Timbulnya pembaharuan pendidikan Islam diawali oleh pembaharuan pemikiran Islam yang timbul di Mesir yang dimulai sejak kedatangan Napoleon ke Mesir. Pendidikan oleh Napoleon Bonaparte 1998 M adalah merupakan tonggak sejarah bagi umat Islam.

Untuk mendapatkan kesadaran tentang kelemahan dan keterbelakangan umat Islam, ekspedisi Napoleon tersebut bukan hanya menunjukan akan kelemahan umat Islam, tetapi juga sekaligus menunjukkan kebodohan mereka. Ekspedisi Napoleon tersebut disamping membawa sepasukan tentara yang kuat, juga membawa seperangkat peralatan ilmiah untuk mengadakan penelitian di Mesir. Inilah yang membuka mata kaum muslimin akan kelemahan dan keterbelakangannya. Sehingga akhirnya timbul berbagai macam usaha pembaharuan dalam segala bidang kehidupan untuk mengejar ketertinggalan dan keterbelakangan mereka termasuk usaha-usaha di bidang pendidikan.

B. Pemikiran Pembaharuan dalam Islam

Secara garis besar dalam bukunya Musyrifah Sunanto disebutkan bahwa ada beberapa macam gerakan pembaharuan di dunia Islam, yaitu:

a. Wahabiyah atau salafiyah, pembinanya adalah Muhammad Abdul Wahab yang tumbuh di Hizaz (Arab). Gerakan ini timbul sebagai reaksi terhadap paham tauhid yang telah dirusak oleh ajaran-ajaran yang menyimpang. Untuk melepaskan umat Islam dari kesesatan ini, maka umat Islam harus kembali kepada Islam yang murni.

b. Pembaharuan dalam Islam (modernisasi Islam), pembinanya adalah Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho. Gerakan ini tumbuh di Mesir sebagai intelektual Islam. Gerakan ini berupaya untuk menyaring kemajuan Barat dan menyesuaikan dengan perikehidupan umat.

c. Westernisasi dalam Islam, maksudnya gerakan ini mengajak umat untuk menerima pengetahuan Barat.

C. Pola Pembaharuan Pendidikan Islam

Dengan memperhatikan berbagai macam sebab-sebab kemunduran umat Islam dan dengan memperhatikan sebab-sebab kemajuan dan kekuatan yang dimiliki oleh orang Eropa, maka pada garis besarnya terjadi tiga pola pemikiran pembaharuan pendidikan Islam, yaitu:

1- Pola pembaruan pendidikan Islam yang berorientasi kepada pola pendidikan modern Eropa.

Golongan ini berpandangan bahwa sumber kesejahteraan yang dialami oleh orang Barat adalah hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka capai.

2- Pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada tujuan pemurnian kembali ajaran Islam.

Golongan ini berpandangan bahwa sesungguhnya Islam sendiri adalah sumber dari kemajuan dan perkembangan peradaban modern. Islam sendiri sudah penuh dengan ajaran-ajaran dan pada hakikatnya mengandung potensi untuk membawa kemajuan dan kesejahteraan umat manusia.

3- Pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi kepada kekayaan dan sumber budaya bangsa masing-masing dan bersifat nasionalisme.

Golongan ini berpandangan bahwa bangsa Barat mengalami kemajuan rasa nasionalisme yang kemudian menimbulkan kekuasaan-kekuasaan politik yang berdiri sendiri. Keadaan tersebut mendorong pada umumnya bangsa timur bangsa terjajah lainnya untuk mengembangkan nasionalisme masing-masing.

PELAJARAN VI

PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

A. Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia

Islam dalam batas tertentu disebarkan oleh pedagang, kemudian dilanjutkan oleh para guru agama (da’i) dan pengembara sufi. Orang yang terlibat dalam kegiatan dakwah pertama itu tidak bertendensi apa pun selain bertanggungjawab menunaikan kewajiban tanpa pamrih, sehingga nama mereka berlalu begitu saja. Tidak ada catatan sejarah atau prasasti pribadi yang sengaja dibuat mereka untuk mengabadikan peran mereka, ditambah lagi wilayah Indonesia yang sangat luas dengan perbedaan kondisi dan situasi. Namun, secara garis besar perbedaan pendapat itu dapat dibagi menjadi sebagai berikut :

a. Pendapat pertama dipelopori oleh sarjana orientalis Belanda, diantaranya Snouck Hurgronce yang berpendapat bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-13 M dari Gujarat (bukan dari Arab langsung), dengan bukti ditemukannya makam sultan yang beragama Islam pertama Malik as-Sholeh, raja pertama kerajaan Samudra Pasai yang dikatakan berasal dari Gujarat.

b. Pendapat kedua dikemukakan oleh sarjana-sarjana Muslim, diantaranya Hamka, yang mengadakan “Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia” di Medan tahun 1963. Hamka dan teman-temannya berpendapat bahwa Islam sudah datang ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah (+ abad 7 M) langsung dari Arab dengan bukti jalur pelayaran yang ramai dan bersifat Internasional sudah dimulai jauh sebelum abad 13 melalui selat Malaka.

c. Sarjana Muslim kontemporer Taufik Abdullah mengkompromikan kedua pendapat tersebut. Menurut pendapatnya memang benar Islam sudah datang ke Indonesia sejak abad pertama Hijriyah, tetapi baru dianut oleh para pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Barulah Islam masuk secara besar-basaran dan mempunyai kekuatan politik pada abad ke-13 dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai.

Bersamaan dengan para pedagang datang pula da’i-da’i dan musafir-musafir sufi. Melalui jalur pelayaran itu pula mereka dapat berhubungan dengan para pedagang, hal itu memungkinkan terjadinya hubungan timbal balik, sehingga terbentuklah perkampungan masyarakat Muslim.

Tersebarnya Islam ke Indonesia adalah melalui saluran-saluran sebagai berikut :

a. Perdagangan, yang mempergunakan sarana pelayaran.

b. Dakwah, yang dilakukan oleh muballig yang berdatangan bersama para pedagang.

c. Perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang Muslim, muballig dengan anak bangsawan Indonesia. Hal ini akan mempercepat terbentuknya inti sosial, yaitu keluarga Muslim dan masyarakat Muslim.

d. Pendidikan. Setelah kedudukan para pedagang mantap, mereka menguasai kekuatan ekonomi di bandar-bandar. Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam.

e. Tasawuf dan tarekat. Bersamaan dengan pedagang,datang pula para ulama, da’i dan sufi pengembara. Para ulama atau sufi itu ada yang diangkat menjadi penasihat dan atau pejabat agama di kerajaan. Para sufi menyebarkan Islam melalui dua cara:

§ Dengan membentuk kader muballig, agar mampu mengajarkan serta menyebarkan agama Islam di daerah asalnya.

§ Melalui karya-karya tulis yang tersebar dan dibaca di berbagai tempat.

f. Kesenian. Saluran yang banyak sekali untuk dipakai penyebaran Islam terutama di Jawa adalah seni. Wali Songo, banyak mempergunakan cabang seni untuk islamisasi, seni arsitektur, gamelan, wayang, nyanyian, dan seni busana.

B. Pendidikan Islam di masa permulaan

1. Sistem pendidikan langgar

Pada awalnya berkembangnya agama Islam di Indonesia, pendidikan Islam dilaksanakan secara informal. Agama Islam datang ke Indonesia dibawa oleh para pedagang muslim, sambil berdagang mereka menyiarkan agama Islam. Setiap ada kesempatan mereka memberikan pendidikan dan ajaran agama Islam. Didikan dan ajaran Islam mereka berikan dengan perbuatan berupa contoh dan suri teladan. Mereka berlaku sopan, ramah tamah, tulus ikhlas, amanah dan kepercayaan, pengasih dan pemurah, jujur dan adil, menepati janji serta menghormati adat istiadat yang ada, yang menyebabkan masyarakat Nusantara tertarik untuk memeluk agama Islam.

Pendidikan agama Islam di langgar bersifat elementer, dimulai dengan mempelajari abjad huruf Arab (Hijaiyah) atau kadang-kadang langsung mengikuti guru dengan menirukan apa yang telah dibaca dari kitab suci alqur’an. Pengajian

Alqur’an pada pendidikan langgar dibedakan kepada dua macam, yaitu:

§ Tingkatan rendah, merupakan tingkatan pemula, yaitu mulainya mengenal huruf alqur’an sampai bisa membacanya, diadakan pada tiap-tiap kampung, dan anak-anak hanya belajar pada malam hari dan pagi hari sesudah salat subuh.

§ Tingkatan atas, pelajarannya selain diatas tersebut ditambah lagi dengan pelajaran lagu, kasidah, barzanji dan tajwid.

2. Sistem pendidikan pesantren.

Adapun sistem pendidikan di pesantren dapat digambarkan sebagai berikut.

Pada pagi hari setelah salat subuh, para santri melakukan pekerjaan kerumah-tanggaan untuk guru, seperti membersihkan halaman, mengerjakan sawah dan sebagainya. Setelah itu, baru diberikan pelajaran. Pelajaran utama dengan dielingi belajar sendiri. Pada siang hari murid beristirahat dan pada sore harinya belajar lagi. Dalam melakukan semua kegiatan waktu salat berjamaah selalu diperhatikan.

Adapun metode yang dilakukan:

§ Metode wetonan atau halaqah.

§ Metode sorogan.

C. Islam di Masa Kerajaan Islam Sumatera.

Seminar masuknya Islam di Indonesia yang diselenggarakan di Medan pada tahun 1963 menyimpulkan sebagai berikut :

§ Menurut sumber bukti yang terbaru, Islam pertama kali datang di Indonesia pada abad ke-7 M/ 1 H dibawa oleh pedagang dan muballig dari negeri Arab.

§ Daerah yang pertama dimasuki ialah pantai barat pulau Sumatra yaitu di daerah Barus.

D. Masuknya Islam ke Pulau Jawa

Islam untuk pertama kali masuk di Jawa pada abad ke-14, (tahun 1399 M) dibawa oleh Maulana Malik Ibrahim dengan keponakannya bernama Mahdem Ishak yang menetap di Gresik. Pada zaman itu yang berkuasa di Jawa adalah kerajaan Majapahit. Salah seorang raja Majapahit bernama Sri Kertabumi mempunyai istri yang beragama Islam bernama puteri Cempa. Kejadian tersebut sangat berpaedah bagi dakwah Islam. Dan puteri Cempa melahirkan putra bernama Raden Fatah yang menjadi raja Islam yang pertama di Jawa. Raden Fatah bergelar Sultan Almsyah Akbar.

E. Walisongo

Dakwah di Jawa makin memperoleh bentuknya yang lebih mantap dengan adanya pimpinan yang disebut Walosongo (sembilan tokoh pemimpin dakwah Islam di Jawa). Ada hubungan timbal balik antara peranan walisongo dengan kerajaan Demak di bidang dakwah Islam, yakni berdirinya kerajaan para wali. Raden Fatah menjadi raja adalah atas keputusan para wali juga. Pada tahun 1476 Raden Fatah mendirikan pesantren.

Para walisongo ditinjau dari kepribadian dan perjuangan dakwahnya termasuk kekasih Allah. Dan ditinjau dari tugas dan fungsinya dalam kerajaan Demak, mereka adalah penguasa pemerintahan. Dengan demikian maka sasaran pendidikan dan dakwah Islam meliputi rakyat umum dan kalangan pemerintah. Jadi Walisongo adalah orang-orang saleh yang tingkat takwanya kepada Allah sangat tinggi, pejuang dakwah Islam dengan keahlian yang berbeda. Ada yang ilmu tasawufnya, ada seni budayanya, ada yang memegang pemerintahan dan militer secara langsung. Semuanya diabdikan untuk pendidikan dan dakwah Islam.

F. Kerajaan Islam di Kalimantan

Islam masuk di Kalimantan pada abad ke-15 M dengan cara damai dibawa oleh muballig dari Jawa. Pada tahun 1710 di Kalimantan terdapat seorang ulama besar bernama Syekh Arsyad Al-Banjari dari desa Kalampayan yang terkenal sebagai pendidik dan muballig besar. Pengaruhnya meliputi seluruh Kalimantan (Selatan, Timur dan Barat). Ia menulis kitab-kitab agama. Pada waktu kecil ia diasuh dan dikirim untuk belajar ke Makkah dan Madinah.

Sistem pengajaran kitab agama di pesantren Kalimantan sama dengan sistem pengajian kitab di pondok pesantren di Jawa, terutama cara-cara menerjemahkan ke dalam bahasa daerah. Salah seorang tokoh Islam yang masuk di Kalimantan Barat ialah Syarif Abdulrahman Al-Kadri dari Handramaut pada tahun 1735 M dan kawin dengan putra Dayak yang akhirnya mewarisi kerajaan di Kalimantan Barat. Salah seorang pejuang dari Kalimantan Selatan ialah Pangeran Antasari lahir pada tahun 1790 M, Pangeran Antasari melawan Belanda untuk membela agama Islam dan tanah air.

G. Kerajaan Islam di Sulawesi

Kerajaan yang mula-mula berdasarkan Islam adalah kerajaan Kembar Gowa Tallo tahun 1605 M. Rajanya bernama I Malingkang Daeng Mayonri yang kemudian berganti nama dengan Sultan Abdullah Awwalul Islam. Menyusul dibelakngnya raja Gowa bernama Sultan Alauddin. Dalam waktu dua tahun seluruh rakyat telah memeluk Islam. Muballig Islam yang sangat berjasa di sana ialah Abdul Qadir Khatib Tunggal gelar Dato Ri Bandang berasal dari Minangkabau, murid Sunan Giri. Seorang Portugis bernama Pinto pada tahun 1544 M menyatakan telah mengunjungi Sulawesi dan berjumpa dengan pedagang-pedagang (muballig) Islam dari Malaka dan Patani (Thailand).

Pengaruh raja Gowa dan Tallo dalam dakwah Islam sangat besar terhadap raja-raja kecil lainnya. Di antara raja-raja itu sudah ada perjanjian yang berbunyi: “Barang siapa yang menemukan jalan yang lebih baik, maka ia berjanji akan memberitahukan kepada raja-raja yang menjadi sekutunya”. Jalan di sini berarti jalan hidup atau agama. Dengan demikian maka Islam ikut mempersatukan kerajaan-kerajaan yang semula berperang.

Dari Sulawesi Selatan, agama Islam berkembang ke Sulawesi Tengah dan Utara. Islam masuk daerah Manado pada zaman Sultan Hasanuddin, ke daerah Bolaang Mangondow di Sulawesi Utara pada tahun 1560 M, ke Gorontalo tahun 1612 M. Agama Islam yang telah kuat di Sulawesi Selatan menjalar masuk di Pulau Nusa Tenggara, yaitu ke Bima (Sumbawa) dan Lombok, di bawa oleh pedagang-pedagang Bugis. Sumbawa dikuasai kerajaan Gowa pada tahun 1616 M.

PELAJARAN VII

PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA PENJAJAHAN

A. Pendidikan Islam pada Masa Penjajahan Belanda

Penaklukan bangsa Barat atas Indonesia dimulai dalam bidang perdagangan, kemudian dengan bidang militer. Kedatangan mereka memang membawa kemajuan tehnologi, tetapi tujuan sebenarnya adalah untuk meningkatkan hasil penjajahan. Begitu pula dalam bidang pendidikan, barat tak hanya memperkenalkan sistem dan metode baru, tetapi juga untuk menghasilkan tenaga yang dapat membantu kepentingan mereka dengan upah rendah. Apa yang mereka sebut pembaharuan pendidikan sebenarnya adalah westernisasi dan pasternisasi pagmatif untuk kepentingan Barat dan Nasrani, dua motif inilah yang mewarnai kebijaksanaan Barat di Indonesia + 3,5 abad (350 tahun).

Ditinjau dari segi perkembangan pendidikan Islam, Belanda berusaha untuk melemahkan pendidikan Islam, antara lain dengan usaha-usaha sebagai berikut:

1- Para penghulu, para madin semuanya dibebaskan dari kewajiban dalam lapangan pendidikan dan pengajaran.

2- Hasil dan pemungutan zakat, sedekah, wakaf untuk membiayai pendidikan dan pengajaran semua dihapuskan, dimasukkan kedalam kas untuk memperbaiki kehidupan para penghulu dan kawan-kawannya.

3- Wakaf tanah, sawah ditujukan untuk membiayai usaha pendidikan dan pengajaran Islam, lalu diputarkan menjadi wakaf mesjid saja.

4- Orang-orang yang diangkat jadi penghulu dan pegawai-pegawainya adalah menurut kemauan pemerintahan Belanda saja meskipun bukan ahli agama.

Usaha-usaha tersebut adalah beberapa kegiatan pemerintahan Belanda untuk melemahkan pendidikan Islam. Kebijaksanaan dalam mengatur jalannya pendidikan tentu saja dimaksudkan untuk kepentingan mereka sendiri, terutama untuk kepentingan agama Kristen.

Kemunduran pendidikan Islam itu sampai puncaknya sebelum tahun 1990. Bahkan pada tahun 1882 Belanda membuat badan khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam. Tahun 1925 Belanda mengeluarkan peraturan lebih ketat, bahwa tidak semua kyai boleh memberikan pelajaran mengaji.

Pada tahun 1901 Belanda melalukan politik etis yaitu mendirikan pendidikan rakyat sampai ke desa dan memberikan hak-hak pendidikan pada pribumi, dengan tujuan untuk mempersiapkan pegawai-pegawai yang bekerja untuk Belanda, juga untuk menghambat pendidikan tradisional. Belanda juga tidak mau mengakui lulusan-lulusan tradisional karena mereka dianggap tidak bekerja di pabrik maupun sebagai tenaga birokrat.

Kehadiran sekolah-sekolah pemerintahan Belanda mendapat kecaman sengit dari ulama. Para ulama mencemaskan sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena sekolah-sekolah ini akan melahirkan kaum intelektual pribumi yang sekuler.

Demikian beberapa kebijaksanaan pemerintahan Belanda terhadap umat umat Islam di Indonesia. Jika kita lihat peraturan-peratuan pemerintahan Belanda yang sedemikian keras, maka tampaknya dalam tempo yang singkat pendidikan islam akan lumpuh dan porakpoganda, akan tetapi kenyataan berbicara lain, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah justru adalah keadaan sebaliknya.

B. Pendidikan Islam Pada Masa Penjajahan Jepang

Jepang muncul sebagai negara kuat di Asia. Bangsa Jepang bercita-cita besar menjadi pemimpin Asia Timur Raya. Perkembangan ekonomi dan industri Jepang memberi gambaran bahwa tampaknya perluasan wilayah itu mutlak diperlukan. Oleh karena itu rencana “kemakmuran bersama Asia raya” dianggap sebagai suatu keharusan dan oleh kalangan militer diterima dan disambut dengan hangat karena menjanjikan adanya prestasi kepahlawanan dan dedikasi.

Dengan demikian maka kejayaan dan masa keemasan kaum penjajahan Belanda lenyap, ketika pada tanggal 8 Maret mereka bertekuk lutut tanpa syarat kepada Jepang.

Kendatipun demikian bangsa Indonesia belum bebas dari penjajahan sebab Jepang mengambil alih pendudukan Indonesia dari Belanda. Selanjutnya Indonesia memasuku alam baru dibawah pemerintahan Jepang.

Pada awalnya, pemerintah Jepang mengambil hati umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia, dengan cara berikut ini:

1- Kantor urusan agama yang pada zaman Belanda dipinpin oleh orang orientalis Belanda, diubah oleh Jepang yaitu dibawah pimpinan umat Islam sendiri oleh Kyai H. Hasyim Asy’ari.

2- Pondok pesantren yang besar-besar mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar-pembesar Jepang.

3- Sekolah negeri diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran agama.

4- Disamping itu pemerintah Jepang mengijinkan pembentukan barisan Hizbullah untuk memberikan latihan dasar kemiliteran bagi pemuda Islam.

5- Pemerintah Jepang mengizinkan berdirinya sekolah tinggi Islam di Jakarta yang dipinpin oleh Kyai H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakir dan Bung Hatta.

Maksud dari pemerintahan Jepang adalah supaya kekuatan umat Islam dan Nasional dapat dibina untuk kepentingan perang Asia Timur Raya yang dipimpin oleh Jepang.

Setelah Jepang memasuki perang dunia II dan kedudukan Jepang terjepit oleh sekutu, Jepang semakin menekan dan menjalankan kekerasan terhadap bangsa Indonesia. Hasil kekayaan bumi Indonesia dikuras untuk pembiayaan perang Asia Timur Raya. Jepang lalu memberlakukan kerja paksa (romusha). Kemudian Jepang membentuk badan-badan rakyat semesta, Sepuh maimao peta dan lain-lain. Sehingga kehidupan bangsa Indonesia semakin tertindas dan menderita. Oleh karena itu lahirlah pemberontakan-pemberontakan misalnya pertahanan PETA di Blitar Jawa timur mengadakan pemberontakan, bahkan alim ulama juga mengadakan perlawanan politik.

Mengenai tujuan pendidikan pada zaman penjajahan Jepang disebut “Hakka Ichiu” mengajak bangsa Indonesia bekerja sama dalam rangka mencapai kemakmuran bersama Asia Raya. Oleh karena itu, pelajar-pelajar diharuskan mengikuti latihan fisik, latihan kemiliteran dan indaktranisi ketat.

Pada akhir zaman penjajahan Jepang, sebenarnya terdapat tanda-tanda tujuan mereka menjepangkan anak-anak Indonesia, sehingga digerahkanlah barisan propoganda Jepang yang terkenal dengan nama “sendenburg” yang diberi tugas untu menanamkan idiologi baru, idiologi itu harus menghancurkan idiologi Indonesia Raya.

Kendatipun demikian ada beberapa hal yang perlu dicatat pada zaman Jepang ini, yaitu perubahan yang cukup mendasar di bidang pendidikan, yaitu:

1- Hapusnya dualisme pengajaran, yaitu dihapuskan sistem pengajaran Belanda yang dualisme (membedakan dua jenis pengajaran barat dan pengajaran bumi putra).

2- Pemakaian bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa resmi maupun sebagai bahasa pengantar pada tiap-tiap sekolah.

Sikap penjajahan Jepang ternyata lebih lunak, sehingga gerakan pendidikan Islam lebih bebas berkembang dibanding pasa penjajahan Belanda, karena Jepang tidak begitu menghiraukan kepentingan agama, yang lebih penting bagi mereka adalah kepentingan perang dalam rangka mencapai kemakmuran bersama Asia Raya.

PELAJARAN VIII

PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KEBANGKITAN NASIONAL

Pada permulaan abad 20, Indonesia mengalami perubahan-perubahan, baik perubahan dibidang agama, pendidikan dan pencerahan. Pendidikan Islam mengalami perkembangan dari masa kemasa, sejak masuknya Islam ke Indonesia. Pada awalnya pendidikan Islam dilaksanakan secara tradisional, namun sejalan dengan perkembangan zaman, maka terjadi pembaharuan dalam sistem pendidikan islam. Pada awal abad inilah merupakan kebangkitan ummat Islam dari ketertinggalannya dalam bidang pendidikan.[1] Ketertinggalan ini disebabkan Indonesia mengalami penjajahan belanda yang secara spritual telah memerosokkan ummat ke taraf terendah dalam kondisi ilmiah. Kesadaran pembaharuan ini banyak dipengaruhi oleh ide-ide yang muncul dari luar yang dibawa oleh para tokoh ulama yang telah selesai mengecap pendidikan di timur tengah.

Berbicara tentang pembaharuan pendidikan islam di Indonesia, mengharuskan kita membahas gerakan-gerakan pembaharuan yang dilakukan para tokoh-tokoh tersebut yakni dengan mendirikan organisasi-organisasi keislaman dibidang pendidikan dan kemasyarakatan. Mereka mendirikan sekolah-sekolah dan pesantren dengan mengadakan pembaharuan dalam sistem pendidikannya dengan mengadopsi sistem pendidikan moderen. Diantara organisasi-organisasi tersebut adalah al-jamiat Khair, al-Irsyad, Perserikatan Ulama, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Persatuan islam (Persis) dan Matlhaul Anwar. Maka di dalam pembahasan ini akan dijelaskan satu persatu.

A. Organisasi-organisasi Dalam Islam

1. Al-Jami’at Khair

Al-Jamiat Khair didirikan di Jakarta pada tanggal 17 juli 1905 oleh sayid Muhammad al-Fachir bin abdurrahman Al-Masjhur, Syayid bin Abdullah bin Syihab, Sayid Idrus bin Ahmad bin Syihab dan Sjehan bin Syihab. Usaha-usaha yang dilakukan jami’at khair adalah mendirikan sekolah dasar pada tahun 1905. Pada sekolah ini bukan saja mengajarkan materi pelajaran agama saja, tapi juga ilmu-ilmu yang bersifat umum, dalam proses belajar mengajar diadakan dikelas-kelas yang telah terorganisasi dengan memakai bangku, kursi, meja papan tulis dan batu kapur, dan bahasa pengantar adalah bahasa indonesia atau bahasa melayu, kemudian bahasa asing juga dipelajari seperti bahasa inggris.

Dalam pengadaan guru-gurunya, jami’at khair mendatangkan guru dari daerah-daerah lain, bahkan dari luar negri.

2. Al-Irsyad

Al-Irsyad berdiri pada tahun 1914 yang didirikan oleh Syaih Umar Maggus, Tahun 1915 berdirilah sekolah Al-Irsyad yang pertama di Jakarta, yang kemudian di susul oleh beberapa sekolah dan pengajian lain yang sehaluan dengan itu.

Al-Irsyad selain memobilisasi tingkat kecerdasan bangsa Indonesia dibidang pendidikan, tidak hanya terbatas bagi orang arab saja, tetapi juga seluruh warga indonesia.

Usaha Al-irsyad untuk memperbaiki manajemen sekolah dimulai tahun 1924, keluar peraturan bahwa hanya anak-anak di bawah umur 10 tahun yang dapat di terima dikelas satu sekolah dasar, sedangkan yang berumur di atas 10 tahun dapat masuk kekelas yang lebih tinggi, tergantung kemampuan ketika ujian masuk. Lama pendidikan disekolah dasar adalah lima tahun. Kemudian yang belajar disekolah guru mempunyai kesempatan untuk praktek mengajar dalam rangka meningkatkan kompetensinya.

Tokoh-tokoh Al-Irsyad menerbitkan beberapa buku dan pamflet-pamflet untuk menyebarkan ide-ide dan fahamnya. Ide-ide mereka itu banyak dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Abduh, yaitu bahwa dalam mendidik seorang anak hendaknya ditekankan pada tauhid, fiqih, dan sejarah yang mana semua itu bersandar pada dalil-dalil Al-qur’an dan hadis Nabi.

3. Perserikatan Ulama

Persyerikatan ulama merupakan gerakan pembaharuan di majalengka, Jawa Barat, yang berdiri tahun 1911 oleh KH. Abdul Halim. Abdul Halim sangat terkesan dengan sistem pendidikan yang ditemuinya di dua lembaga pendidikan, yaitu Bab al-Salam dekat Mekah dan satu lagi di Jeddah. Dalam pandangan kedua lembaga ini telah menggunakan sistem klasikal dalam proses belajar mengajar, menggunakan meja, bangku dan kurikulum yang tersusun sedemikian rupa. Kedua lembaga pendidikan ini kelak menjadi contoh baginya ketika mengadakan perubahan dalam sistem pendidikan tradisional di daerahnya.

Setelah kembali ketanah air, Abdul Halim mendirikan Hayatul Qulub, pada tahun 1911, organisasi ini bergerak di bidang pendidikan dan ekonomi. Dalam bidang ekonomi, organisasi membantu pedagang dan petani dalam persaingan dengan orang- orang cina. Dalam bidang pendidikan Abdul Halim mengadakan pelajaran agama sekali seminggu untuk orang dewasa diikuti 40 orang, materi pelajarannya fiqih dan hadist.

4. Muhammadiyah

Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah, dan kemasyarakatan. Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada tanggal 10 November 1912, bertepatan dengan 8 Zulhijjah 1330 oleh K.H. Ahmad Dahlan. Tujuan didirikan organisasi ini adalah untuk membebaskan umat Islam dari kebekuan dalam segala bidang kehidupannya, dan praktek-praktek agama yang menyimpang dari kemurnian ajaran islam. Saat itu, umat islam telah dipengaruhi sikap fatalisma, bid’ah, khurafat, dan konservatisme yang berpengaruh kuat pada kehidupan keagamaan dan sosial ekonomi masyarakat muslim indonesia. Kolonialisme dan misi kristen telah memperburuk keadaan umat islam yang semakin terbelakang dan ketinggalan zaman di segala bidang.

Muhammadiyah mulai berkembang ke berbagai daerah di luar yogyakarta setelah tahun 1917. ketika itu budi Utomo mengadakan kongres di yogyakarta, K.H. Ahmad Dahlan menyampaikan ide-ide dan harapan-harapannya dihadapan peserta, sehingga banyak yang tertarik untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di berbagai tempat di pulau jawa. Sedangkan perkembangan Muhammadiyah untuk daerah di luar pulau jawa di mulai di minangkabau diubah menjadi cabang Muhammadiyah pada tahun itu juga. Pada tahun 1927 berdiri cabang Muhammadiyah di Bengkulu. Banjarmasin dan Amuntai sedangkan pada 1929 menyebar sampai ke Arah dan Makasar.

Sebagai organisasi dakwah dan pendidikan, Muhammadiyah mendirikan lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Pada 1915 Ahmad Dahlan mendirikan sekolah dasarnya pertama diikuti sekolah sekolah Muhammadiyah di pelosok Indonesia. Pada tahun 1925, organisasi ini telah mempunyai 8 Hollands Inlandse School (HIS), sebuah sekolah guru di yogyakarta, 32 buah sekolah dasar 5 tahun, sebuah schakel School, dan 14 buah madarasah.

5. Persatuan Islam

Persatuan Islam (PERSIS) didirikan secara resmi pada tanggal 12 September 1923 di bandung, oleh sekelompok orang islam yang berminat dalam studi dan aktivitas keagamaan yang dipimpin oleh Zamzam dan Muhammad Yunus. Berbeda dengan organisasi-organisasi lain yang berdiri pada awal abad ke-20, persatuan islam mempunyai ciri tersendiri, di mana kegiatannya dititik beratkan pada pembentukan faham keislaman.

Untuk menyebutkan cita-cita dan pemikirannya PERSIS mengadakan pertemuan umum, tabligh, khotbah-khotbah, kelompok-kelompok studi, mendirikan sekolah-sekolah dan menyebarkan atau menerbitkan pamflet-pamflet, majalah-majalah dan kitab-kitab. Dua orang tokoh persis yang terkenal adalah A. Hassan dan Mohammad Natsir.

Dibidang pendidikan, persis mendirikan sebuah madrasah yang pada awalnya dimaksudkan untuk anak-anak dari anggota PERSIS, tetapi kemudian, madrasah ini dibuka bagi anak-anak lainnya.

Dalam bidang pendidikan persis mendirikan sebuah madrasah yang pada awalnya dikhususkan bagi anak-anak anggota persis, tetapi belakangan terbuka bagi anak-anak lain. Selain itu diadakan kursus-kursus dalam bidang agama untuk orang dewasa. Guru yang membimbing kursus ini adalah A.Hassan dan Haji Zam-Zam.

Selain itu persis juga mendirikan sebuah pesantren yang diberi nama pesantren PERSIS di bandung pada tanggal 1 zulhijjah 1354( 1936). Tujuan dari pesantren adalah mempersiapkan calon-calon ulama yang tidak kaku menghadapi masyarakat, menghasilkan muballigh-muballigh yang memiliki kemampuan serta kesanggupan menyiarkan, membela serta mempertahankan agama islam.

6. Nahdhatul Ulama

Nahdhatul Ulama berdiri pada tanggal 16 Rajab 1344 H. (33 januari 1926 M).di surabaya oleh beberapa ulama antara lain, KH. Hasyim “Asya’ari, KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Bisri(Jombang). Seperti organisasi lainnya NU juga mendirikan lembaga-lembaga pendidikan pesanteren dan madrasah-madrasah dengan berbagai jenjangnya di tiap-tiap wilayah dan cabang diseluruh Nusantara.

Tahun 1927 baru tujuan organisasi dirumuskan. Organisasi ini bertujuan memperkuat ikatan salah satu dari empat mazhab serta untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat untuk anggota, sesuai dengan islam. Kegiatan ini meliputi usaha untuk memperkuat persatuan di antara para ulama yang masih berpegang teguh pada mazhab, pengawasan terhadap pemakaian kitab-kitab di pesanteren, penyebaran Islam, seperti yang di ajarkan oleh mazhab yang empat, perliasan jumlah madrasah serta perbaikan organisasinya, bantuan kepada mesjid, langgar dan pesantren, dan juga pemeliharaan anak yatim serta fakir miskin. Maksud lain yang penting pula ialah pebentukan badan-badan untuk memajukan usaha para anggota Nahdtul Ulama.

Secara umum dapat dikatakan bahwa pesantren di lingkungan NU yang bercorak pembaharu amat respon terhadap perkembangan masyarakat. Dari segi kelembagaan, madrasah di pesanteren meliputi ibtidaiyah, sederajat dengan SD dengan lama belajar 6 tahun. Usaha-usaha pembaharuan pendidikan di lingkungan NU memberikan pengaruh positif bagi perkembangan kesadaran transformasi di kalangan masyarakat islam di Jawa timur dan Madura yang merupakan basis utama bagi KH. Hasyim Asy’ari.

Pembaharuan pendidikan yang diterapkan di pesantern tebuireng tersebut merupakan awal yang bagus bagi kemajuan pesantren, khususnya di jawa dan madura. Pada perkembangannya berikutnya, modernisasi tersebut menjadi contoh bagi pesantren di jawa untuk lebih terbuka terhadap sistem pesantren modren. Besarnya pengaruhb KH. Hasyim Asy’ari sangat mendukung bagi penyebar luasan pembaruan pendidikan di pesantren. Setelah Indonesia merdeka dan ketika KH. Hasyim Asy’ari menjabat sebagai menteri agama RI., ia pengambil keputusan untuk menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan Barat. Cara yang di tenpuh untuk melaksanakan keputusan ini antara lain dengan melakukan propaganda untuk memasukkan mata pelajaran umum kedalam madrasah. Keputusan departemen agama ini oleh Stenbrinka, di anggap sebagai akibat dari pembaharuan pendidikan yang terjadi di”ibu kota” NU, Jombang. Besarnya pengaruh dan keharisma KH. Hasyim Asy’ari berhasil melunakkan hati para kyai di pedesaan untuk sedikit demi sedikit mentransper sistem pendidikan modren.

7. Matla’ul anwar

Matla’ul Anwar (MA) berdiri pada tahun 1916 di Menes, Padeglan, Jawa barat, oleh KH.Entol Muhammad yasin dan mas Abdurrahman bin KH. Mas Jamal.

Lahirnya MA dipengaruhi oleh sosio kultural dan politik pada saat itu, yaitu adanya kewenangan yang sedemikian luas bagi koloni Belanda dalam mengatur dan mengarahkan rakyat jajahannya, sehingga menimbulkan reaksi keras dari masyarakat dan juga adanya gerakan pembaharuan di berbagai negara Islam, juga di Indonesia dengan timbulnya paham Nasionalisme dan kesadaran kebangsaan.

Pada awalnya materi pelajaran yang dipelajari di lingkungan pendidikan MA adalah menitik beratkan pada mata pelajaran agama, namun mulai tahun 1945 perbandingan mata pelajarannya menjadi 65% untuk agama dan 35% pengetahuan umum. Tingkat sekolahnya adalah ibtidaiyah. Tsanawiyah dan Aliyah.

Tujuan utama dari MA adalah memperjuangkan kesempurnaan tumbuhnya pendidikan dan pengajaran Islam di tengah-tengah masyarakat islam, berbagai usaha dilaksanakan untuk mencapainya antara lain dengan mengorganisir pendidikan dan pengajaran Islam pada madrasah-madrasah, sekolah-sekolah dan pesantren-pesantren.

PELAJARAN IX

PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KEMERDEKAAN INDONESIA

A. Pendidikan Islam Zaman Kemerdekaan

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka. Setelah Indonesia merdeka penyelenggaraan pendidikan Islam mendapat perhatian yang serius dari pemerintah baik di sekolah negeri maupun di sekolah swasta. Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga tersebut sebagaimana yang telah dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) tanggal 27 Desember 1945 yang menyebutkan bahwa madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah suatu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan nyata berupa tuntunan dan bantuan material dari pemerintah.

Kenyataan yang demikian, timbul karena kesadaran umat Islam yang dalam, setelah sekian lama mereka terpuruk dibawah kekuasaan penjajah. Sebab pada zaman penjajah Belanda pendidikan Islam terbuka secara sangat sempit.

B. Tokoh-tokoh Pendidikan Islam di Indonesia

1- Kyai Haji Ahmad Dahlan

2- Kyai Haji Hasyim Asy-‘ari

3- Kyai haji Abdul Halim

C. Lembaga Pendidikan Islam Sesudah Indonesia Merdeka

Setelah Indonesia merdeka dan telah mempunyai Departemen Agama, maka secara instansional Departemen Agama diserahi kewajiban dan bertanggungjawab kepada pembinaan dan pengembangan pendidikan agama dalam lembaga-lembaga dan sebagainya. Lembaga pendidikan islam ada yang berstatus negeri ada yang swasta. Yang berstatus negeri misalnya; MIN, MtsN, MAN, PTAIN (yang kemudian berubah menjadi IAIN).

Pendidikan Islam mulai diajarkan secara resmi di sekolah umum negeri pada tahun 1946, dengan keluarnya SKB mentri agama dan mentri pendidikan. Sebagai tindak lanjutnya adalah penyediaan dan pengadaan tenaga guru agama yang ditugaskan di sekolah-sekolah umum negeri. Untuk memenuhi kebutuhan guru agama islam itu, maka pada tahun 1950 Departemen Agama mendirikan sekolah guru agama Islam (SGAI). Lulusan sekolah ini dipersiapkan untuk menjadi guru agama islam di SD, sedangkan guru agama si SMP dan SMA maka didirikanlah sekolah guru dan hakim Islam.

Dalam jangka waktu beberapa tahun diawal berdirinya kementrian ini telah dikeluarkan berbagai peraturan yang menentukan tugas serta ruang lingkup kementrian agama. Tujuan dan fungsi Departemen Agama dirumuskan pada tahun 1967, yaitu:

1- Mengurus serta mengatur pendidikan agama di sekolah-sekolah serta membimbing perguruan-perguruan agama.

2- Mengikuti dan memperhatikan hal-hal yang bersangkutan dengan agama dan keagamaan.

3- Memberi penerangan dan penyuluhan agama.

4- Mengurus dan mengatur peradilan agama serta menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan hukum agama.

5- Mengurus dan memperkembangkan, mengawasi pendidikan agama pada perguruan-perguruan tinggi.

6- Mengatur, mengurus dan mengawasi penyelenggaraan haji.

D. Tujuan Pendidikan Islam Pada Masa Kemerdekaan

1- Tujuan yang bersifat individu, mencakup perubahan, yaitu perubahan pengetahuan.

2- Tujuan yang mencakup masyarakat, yaitu perubahan kehidupan masyarakat serta memperkaya pengalaman masyarakat.

3- Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, seni profesi dan kesertaan masyarakat.

E. Isi Pendidikan Islam Indonesia

Isi pendidikan dan pengajaran agama Islam sampai timbul sistem madrasah, baik yang diajarkan di surau-surau, langgar, mesjid maupun pondok pesantren adalah sebagai berikut:

1- Pengajian al-Qur’an, adapun pengajiannya adalah:

a. Membaca al-Qur’an

b. Ibadah

c. Keimanan sifat dua puluh

2- Akhlak (dengan ceritera dan contoh teladan).

Pada tingkat yang lebih atas ditambah dengan tajwid lagi qasidah, barzanzi, dan mempelajari kitab perukunan, seperti ilmu nahwu, sharaf, fiqh, tafsir dan lain-lain.

PELAJARAN X

PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA ORDE BARU

Sejak ditumpasnya peristiwa G 30 SPKI pada tanggal 1 Oktober 1965, bangsa Indonesia telah memasuki fase baru yang disebut dengan orde baru. Orde baru adalah salah satu sikap mental yang positif untuk menghentikan dan mengoreksi segala penyelewengan terhadap pancasila dan UUD 1945.

Rumusan tersebut semakin sempurna dengan lahirnya UU RI nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional dengan dilengkapi beberapa peraturan dalam kerangka pelaksanaannya.

Dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan sistem pendidikan nasional, Departemen Agama bertangung jawab mengenai materi dan pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum. Disamping menyelenggarakan pendidikan agama, mentri agama bertanggung jawab dalam hal-hal berikut ini:

1- Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan agama Islam

2- Peningkatan mutu guru-guru agama Islam

3- Perampungan dan penyempurnaan kurikulum

4- Peningkatan sarana dan prasarana pendidikan agama

5- Peningkatan efektifitas metodologi

6- Pengendalian dan pengawasan

7- Pengembangan pola pembinaan pendidikan terpadu.

Sejak MPRS bersidang pada tahun 1966, telah diupayakan membersihkan sisa-sisa mental G 30 SPKI. Dalam keputusannya, bidang pendidikan agama telah mengalami kemajuan, karena sejak tahun 1966 pendidikan agama menjadi hak wajib mulai dari SD sampai perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Dengan demikian pendidikan agama makin memperoleh tempat yang kuat dalam sturuktur organisasi pemerintahan dan masyarakat pada umumnya.

BUKU RUJUKAN

Asrohah, Hanun. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Departemen Agama. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: IAIN, 1986.

Lukman, H. Fahmy. Syariat Islam dalam Kebijakan Pendidikan, http://www.icmimuda.org, 2006

Mughni, Syafiq A.. Nilai-Nilai Islam. Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Ramayulis & Sansul Nizar. Ensiklopedi tokoh Pendidikan Islam ( Ciputat: Quantum Teaching , 2005.

Sunanto, Musyrifah. Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

Yasin, Abu., Strategi Pendidikan Negara Khilafah, Thariqul Izzah: Surabaya, 2004.Facebook

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Zuhairi Dkk., Sejarah Pendidikan Islam, Bumi Aksara: Jakarta, 1997.

Zulhima. Diktat Sejarah Pendidikan Islam, Padangsidimpuan: STAIN, 2005


[1] Musyrifah Sunanto. Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm, 33

Kategori:Uncategorized